Tujuh

130K 12K 573
                                    

Wajah Diandra memerah persis seperti udang rebus. Kejadian beberapa menit lalu yang berhasil menggemparkan hati dan detak jantungnya, sungguh diluar dugaan. Guntur menciumnya! Mencium bibirnya yang masih suci dan tak ternoda selama delapan belas tahun terakhir. Bukan hanya sekali kecup, Guntur berkali-kali mengecup bibirnya. Diandra tak percaya ini. Dia bukan gadis polos lagi. Bagaimana kalau dia hamil? Astaga, ini sangat konyol.

Entah harus bagaimana Diandra untuk menutupi ekspresi malu yang masih terpasang cantik di wajahnya saat ini, namun tidak mungkin juga dia terus bersembunyi dari keluarga besar yang sedang asyik mengobrol di ruang makan itu.

Guntur si kampret malah gak berasa dosa. Dia malah ninggalin aku kayak habis manis sepah dibuang! Tuh lihat aja mulutnya gak berenti senyum. Ihhh bete!!!

Diandra mendumel sambil menggigit bibirnya kuat-kuat dari balik dinding, mengintip om-om mesum yang telah mengambil keperawanan bibir sucinya. Guntur bersikap sangat biasa, seolah adegan ciuman yang mereka lakukan di depan kolam renang adalah adegan dalam sinetron yang tak penting. Sekali lewat langsung lupa!

Dewasa boleh, tapi sifat Guntur sendiri sungguh bertolak belakang dari kata itu. Maksud Diandra adalah ancaman bodoh soal hukuman jika dia memanggilnya dengan sebutan om, maka bibir ini yang akan menjadi taruhannya. Tidak lagi! Cukup tiga—salah, empat kecupan saja untuk malam ini dan malam-malam seterusnya. Diandra janji akan menjaga bibirnya dari sikap mesum Guntur.

"Kak Di."

"Aku gak ngintip! Gak!" Diandra spontan meloncat saking kagetnya mendengar panggilan dari Kirana. Tanpa sadar ia berteriak hingga semua orang di ruang makan menoleh ke arah suara.

Diandra menoleh dan melihat sang adik yang cengingisan jahil. Sepertinya Kirana baru saja dari toilet.

"Kamu ngapain di sana kayak anak tikus? Sini," panggil Giga, Papa Diandra, yang kelihatan malu melihat tingkah petakilan anaknya.

Diandra berjalan sambil menunduk menuju meja makan dengan Kirana mengekori langkahnya dari belakang. Sesaat matanya bertemu pandang dengan Guntur, dan ekspresi remeh di wajah pria itu semakin membuat Diandra mati kutu. Ia hanya berharap wajahnya tidak semerah tadi.

Tarik napas Di! Jangan terlalu dipikirin. Itu cuma ciuman. Bayi aja sering dicium orang. Oke, kita anggep CPR.

Diandra menyemangati dirinya sendiri dalam hati. Sekarang, ia harus mencari cara untuk membalas perbuatan Guntur.

"Kata Guntur, perut kamu sakit ya? Udah mendingan Di?" tanya Ajeng, Mama Guntur yang malam ini memakai gaun terusan warna ungu panjang hingga mata kaki. Diandra tadi mengira kalau Ajeng ingin pergi kondangan malam ini, ternyata itu gaun rumahannya.

Baju rumah aja sebagus itu, gimana baju pestanya?

"Ehm..." Diandra melihat Guntur, licik sekali alasan om mesum itu, "iya Tante. Tadi memang sakit, tapi sekarang sudah baikan."

"Oh syukurlah. Tapi Di, panggilan Tante itu kayaknya kurang enak didenger deh. Panggil Mama dong Di," sahut Ajeng lagi sambil tersenyum lebar.

Heni dan Giga menyuruh Diandra untuk menuruti permintaan Ajeng melalui kode mata. Sementara Guntur yang duduk berseberangan dengannya hanya tersenyum sinis seraya menaikkan sebelah alis, seolah mengejek Diandra. Guntur pasti senang jika dia memanggil calon mertua dengan sapaan akrab seperti itu.

"Ehm... o--oke Ma." Apa boleh buat. Diandra cuma bisa pasrah menerima keadaan.

****

Guntur berdeham beberapa kali, namun Diandra tetap tak acuh dan menikmati kesendiriannya di depan kolam renang—tempat yang menjadi saksi bisu saat ciuman pertamanya direbut oleh Om mesum bernama Guntur. Diandra melarikan diri ke sini lagi setelah acara makan malam selesai. Di saat para orang tua sedang sibuk membicarakan embel-embel pernikahan, Diandra kabur dengan lincah sampai mereka tidak menyadarinya, kecuali Guntur, tentu saja.

Jodohku Om-Om!! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang