[20] Kita Senasib?

11 6 0
                                    


Mereka pun mulai bercerita tentang rahasia terbesar yang mereka punya.

"Oke, mulai dari gue ya?" Ucap Hana membuka suara.

"Jadi gini, sebenernya gue bisa melihat mereka yang gak bisa kalian lihat. Maksudnya dari mereka, adalah hantu atau sejenisnya. Gue udah bisa lihat mereka, dari usia empat tahun. Dan asal kalian tahu, gue udah sering pindah sekolah sejak SD, karena dianggap gila sama teman-teman gue. Mereka semua gak percaya dengan apa yang gue bilang. Mereka menganggap gue halu, gila dan yang lainnya. Sampai gue dibawa ke psikiater sama orang tua gue. Gila gak tuh? Orang tua gue sendiri, menganggap gue gak waras." Ucap Hana memulai ceritanya dengan tawa hambar diakhir ucapannya.

"Awalnya gue sempat depresi, karena gak kuat dengan mereka yang gue lihat. Gimana gue gak depresi? Mereka selalu hampir-in gue, sampai pernah ada yang minta tolong untuk gue selesaikan masalah mereka yang belum selesai, saat mereka masih hidup. Dan mereka mengancam, kalau gue gak mau, gue akan terus di gentayangin sama mereka." Sambungnya.

"Gue takut, banget saat itu. Gue bingung harus apa, bahkan disaat gue kaya gitu. Gak ada yang mau bantu gue. Sampai akhirnya gue mendekam diri kamar, gue gak mau keluar dari kamar. Gue ketakutan, gue hampir aja bunuh diri karena itu. Selama satu bulan gue kaya gitu, terus orang tua gue panggil orang pintar. Untuk menyembuhkan gue. Dan benar, kata orang itu gue bisa melihat mereka. Kalian tau, apa reaksi orang tua gue? Mereka sangat syok mendengar ucapan orang pintar itu. Sampai penyakit jantung Mamah gue kambuh dan akhirnya dia gak bisa diselamatkan. Dia meninggal, meninggal karna gue! Hikss... gue penyebab mamah meninggal!" Ucapnya sambil terus menangis tersedu-sedu. Membuat yang lain ikut menangis.

"Gak Han, kamu gak salah. Meninggalnya mamah kamu, itu sudah takdir yang memang harusnya begitu. Kamu gak boleh salahin diri kamu." Ucap Luna menenangkan.

"Benar kata Luna, ini udah takdir Han." Balas Minnie mengusap air matanya.

"Takdir? Berarti takdir gue, jelek banget ya? Hahaha. Tau gak, mulai dari meninggalnya mamah, papah gue gak pernah mau tegur sapa sama gue. Dia selalu menyalahkan gue, dia menganggap bahwa gue pembawa sial. Dan satu lagi, kalian harus tahu. Papah gue pergi ninggalin gue gitu aja, setelah mamah meninggal. Bahkan, keluarga dari mamah dan papah gue enggak mau ngurusin gue. Mereka ngebuang gue! Gue sebatang kara, gak punya siapa-siapa. Sampai akhirnya, ada orang baik yang mengajak gue untuk tinggal dengan mereka. Ya, mereka yang sekarang jadi Orang tua gue. Gue sangat sayang sama mereka, Ayah dan Bunda. Walau mereka gak sekaya papah gue, tapi gue bahagia punya mereka." Ucapnya tersenyum diakhir cerita. Lalu menyeka air mata dan cairan yang sempat keluar dari hidungnya.

"Lo yang sabar ya, ini semua akan berakhir dengan bahagia kok. Asal lo kuat menghadapi masalah ini sampai akhir." Ucap Liza memeluk Hana yang ada disampingnya.

"Tumben banget lo, bijak kaya gitu." Balas Hana melepaskan pelukan Liza.

"Eh, bentar deh. Lo masih bisa lihat mereka?" Ucap Minnie penasaran.

"Masih." Balas Hana enteng.
"Sekarang, gue udah mulai terbiasa dengan sikap mereka. Bahkan, ada yang berteman dengan gue." Sambungnya.

Membuat ketiga temannya itu bergidik ngeri.

"Oke! Sekarang gue ya?" Ucap Liza bersemangat.

Di setujui oleh ketiga temannya itu.

"Jadi gini, cerita gue ini sangat amat rahasia. Hanya gue, orang tua gue dan Tuhan yang tau. So? Kalian harus jaga rahasia ini. Janji?" Ucap Liza mengacungkan jari kelingking-nya ke udara.

Lalu ke tiga temannya juga mengikutinya.

"Janji!" Ucap Luna, Minnie dan Hana bersamaan.

"Gue bisa membaca pikiran orang. Percaya gak? Pasti enggak kan? Butuh bukti? Tenang!" Ucap Liza mulai bercerita.

JINXEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang