So, guys. Saturday is coming!
Gue nggak tau, kenapa rasanya nggak karuan gini. Suer. Seumur hidup, selama jadi bos besar, nggak pernah tuh Arsyadian Putra grogi tiap meeting sama orang. Oke. Bohong kalo gue nggak grogi. Honestly, gue selalu nervous. Tapi karena setiap meeting ditemenin Dira, nervous gue ilang. Gue pernah bilang 'kan kalo sekretaris gue itu such a competent girl? Yash! Dia tau gimana caranya bikin grogi gue ilang. Ngajak ngobrol adalah cara dia ngalihin perhatian gue.
Dan sekarang, gue harus pergi sendirian. Ketemu managernya Alesya yang kalo nggak salah namanya Fira.
Gue menunggu. Iya. Ini gue dateng kepagian. Janjian jam 10 tapi sebelum jam 10, gue udah nangkring duluan di cafe tempat kami bakal ketemuan. Udah, lo nggak usah gumoh. Jadi seorang bos besar mengharuskan gue datang tepat waktu. Lebih bagus kalo gue dateng lebih awal. Dan itu udah jadi kebiasaan. Jadi tiap mau ketemuan, sama siapapun itu, gue nggak pernah kenal dengan kata ngaret. Gue bisa nunggu. Tapi gue agak risih kalo ada orang yang nunggu kedatangan gue. Ngerti 'kan?
Sayang aja, udah almost perfect gini gue masih jomblo.
Miris.
"Permisi, Pak Arsyad 'kan?"
Ceritanya gue lagi main handphone sewaktu ada cewek yang nyapa gue. Belum sempet bales pesan masuk dari orang kantor, gue lebih dulu ngangkat wajah memastikan siapa yang datang. Karena hari ini gue bakal ketemu managernya Alesya yang namanya Fira, gue anggap, dia adalah perempuan. Dan yang nyapa gue barusan juga cewek. Cakep sih. Lumayan.
"Ini Fira? Managernya Alesya?"
Cewek di depan gue ngangguk. Nggak lupa ngasih gue senyuman sebelum akhirnya duduk di kursi kosong di hadapan gue. "Iya, saya Fira. Maaf, Pak, tadi ngurusin Alesya dulu di WM. Jadi agak telat saya dateng kesini."
"Nggak papa." Denger nama Alesya bikin gue makin penasaran gimana wujud aslinya. Lebih cantik kah? "Alesya tetep ada job hari sabtu gini?"
"Nggak mesti sih, Pak. Tergantung tema majalahnya apa."
Gue manggut-manggut. Pikiran gue tiba-tiba mengaitkan omongan Fira barusan dengan permintaan nyokap yang kepengin nyari model buat rancangan terbarunya. "So, boleh kita ngomongin ke inti? Karena ini menyangkut permintaan Mama saya. Kebetulan, yang kamu jelasin barusan, berhubungan sama permintaan Mama saya." Kata gue, mencoba masuk ke inti dan mengakhiri basa-basi.
"Boleh sekali, Pak." Fira mengangguk antusias. Mencari posisi duduk ternyaman selama mendengarkan maksud gue ketemuan sama dia hari ini.
"Sebenarnya, yang butuh model itu Mama saya. Beliau seorang desainer. Akhir-akhir ini Mama meminta saya untuk mencarikan model untuk jadi peraga busananya. Saya sendiri kurang paham model seperti apa yang saya butuhkan. Tapi hari itu, saya nggak sengaja melihat wajah Alesya di cover majalah milik sekretaris saya." Gue entah kenapa harus ngomong sejujur ini sama Fira. Tapi gue akui, omongan gue barusan meluncur gitu aja tanpa gue sadari. "Jadi, saya meminta orang kepercayaan saya untuk mencari tau model yang saya lihat di cover majalah tempo hari."
Sementara di depan gue, Fira memasang wajah serius.
"Jadi, yang kemarin telepon saya itu asistennya bapak?" Tanya Fira yang langsung gue angguki. "Pantes. Dari kemarin beliau bilang 'kata bos saya' mulu. Saya pikir yang kemarin telepon itu ya dia yang butuh. Bukan orang lain."
Mendengar penjelasan Fira, bikin gue ketawa kecil. "Maaf bikin bingung."
"Nggak papa, Pak. Intinya, Mamanya Pak Arsya 'kan yang butuh Alesya buat jadi model rancangan terbarunya?" Fira langsung paham apa yang gue jelasin barusan. Langsung aja gue bales dengan senyuman. "Sebelumnya, saya sebagai manager mau memastikan beberapa hal dulu. Tapi Pak Arsya nggak usah khawatir kalo Alesya bakal nolak. Ketika saya bilang setuju, saat itu juga Alesya setuju. Nggak mungkin dia nolak."
Gue masih tersenyum. Dalam hati gue menggumam, agak ribet ternyata. Tapi demi nyokap dan rasa penasaran untuk ketemu Alesya, gue cuma mengangguk. Membiarkan Fira menjelaskan segala sesuatunya.
"Kayanya saya nggak perlu jelasin lagi tentang apa yang terjadi sama Alesya beberapa waktu ke belakang. Pasti media udah menyebarluaskan beritanya dan Pak Arsya pasti tau betul tentang itu."
Ya, gue tau. Gue tau tentang Alesya batal nikah dan bikin dia merasa sedikit parno untuk ambil job diluar tempat dia bekerja sekarang. "Saya tahu. Tolong lanjutkan."
"Saya juga sudah memberitahu Alesya tentang permintaan Pak Arsya ini. Alesya menyerahkan semuanya pada saya dan saya rasa ini jadi tanggung jawab saya untuk membuat Alesya merasa nyaman selama mengambil job dari luar." Katanyaa yang masih gue simak baik-baik.
"Jadi, saya mohon sama Pak Arsya, bisa tolong pastikan kalo Alesya bekerja di tempat yang aman? Saya nggak menutup kemungkinan diluar sana banyak yang membicarakan Alesya. Entah itu baik atau buruk. Saya hanya memastikan kalau Alesya mengambil job yang sekiranya nggak bikin dia uring-uringan. Jujur, saya sendiri merasa kasihan melihat Alesya yang terus saja jadi sasaran empuk media. Seolah batalnya pernikahan ini adalah kesalahan Alesya. Meski kenyataannya bukan begitu."
"Fira," gue memanggil namanya supaya dia lebih tenang karena gue tau, emosinya sedang meluap-luap saat menjelaskan soal keadaan Alesya saat ini. "saya bisa jamin kalau Mama saya akan menjaga Alesya dengan baik. Bahkan, kalau perlu, saya sendiri yang akan turun tangan untuk menjaga Alesya supaya dia merasa aman selama bekerja dengan Mama saya. Tapi yang harus kamu tau, jauh sebelum kamu bilang, saya akan memastikan Alesya baik-baik saja karena saya sudah diberi tanggung jawab besar untuk ini, secara tidak langsung. Apa itu cukup untuk membuat kamu setuju?"
Yang gue tau, Fira tersenyum. Tersenyum dengan tatapan penuh harap dan justru bikin gue tanpa sadar mengangkat sebelah alis.
"Sangat setuju, Pak Arsya. Feeling saya benar. This job would be appropriate for her." Lalu Fira mengeluarkan sebuah map dari totebage, membukanya dan mengambil satu rangkap kertas yang gue yakini adalah surat kontrak. "Ini surat perjanjiannya. Kalau Mamanya Pak Arsya punya surat perjanjian juga, boleh berikan pada saya. Biar saya tanda tangan atau Alesya tanda tangan. Supaya ada bukti kesepakatan kerja."
Gue menarik kertas yang ditaruh Fira di atas meja. Membacanya cepat karena gue pikir, ini nggak lebih rumit dari kontrak kerjasama yang biasanya gue baca. "Saya tanda tangani saja ya? Mama saya sudah mempercayakan ini semua pada saya. Kalau saya menipu, kamu bisa datang ke kantor saya. Silahkan ajukan gugatan dan saya siap menerima hukuman."
Lalu Fira menyerahkan pulpennya buat gue pake tanda tangan.
"Kalau dari pihak Mama sendiri, tidak ada surat perjanjian atau semacamnya. Lagipula ini bukan job yang terlalu formal. Jadi, cukup dengan kesepakatan saja." Sambil menyerahkan kertas yang udah gue tanda tangan pada Fira.
"Terimakasih banyak, Pak Arsya. Maaf kalau terlalu memusingkan. Saya hanya mau yang terbaik untuk Alesya." Katanya sungkan sambil masukin lagi kertas perjanjian tadi ke dalam map.
Gue tersenyum. "It's okay, Fir. Everyone deserve to have a job which make them happy, not give them agony."
"Nice words!" Fira tertawa.
"Mau pesan sesuatu? Biar saya yang bayar." Gue baru sadar kalo Fira belum mesen apa-apa. Beda sama gue yang udah habis segelas milk shake capuccino favorit gue.
"Nggak usah, Pak. Saya mau langsung balik ke WM aja. Sebentar lagi Alesya selesai pemotretan. Takut dia butuh sesuatu, saya nggak ada disana."
Sebelum dia beranjak, gue lebih dulu bicara. "Boleh saya ikut? Saya ingin bertemu Alesya."
"Boleh aja sih, Pak. Tapi saya bawa mobil." Sambil menunjukan kunci mobilnya di tangan.
"Nggak papa." Gue lagi-lagi tersenyum. "Saya ikuti saja dari belakang."
Karena malam ini gue nggak mau tidur dihantui oleh rasa penasaran lagi. Membayangkan wajah Alesya yang belum pernah gue temui di setiap malamnya. Dan hari ini, semoga hari ini beneran ketemu. Seperti yang dinanti.
Bersambung...Cieee Arsyaa wkwkw
16/03/19

KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Sampul
Roman d'amourArsyadian Putra, laki-laki yang selalu dibuat mumet oleh permintaan Mamanya yang aneh-aneh. Dan yang paling sulit Arsya wujudkan adalah Mama minta menantu. Arsya pusing. Semakin dibuat pusing ketika dengan konyolnya dia harus jatuh hati pada perempu...