Arsyadian Putra, laki-laki yang selalu dibuat mumet oleh permintaan Mamanya yang aneh-aneh. Dan yang paling sulit Arsya wujudkan adalah Mama minta menantu.
Arsya pusing. Semakin dibuat pusing ketika dengan konyolnya dia harus jatuh hati pada perempu...
"Oke, break!" Bersamaan dengan seruan itu, satu-persatu crew keluar dari sarang mereka untuk mulai bekerja memindahkan alat-alat besar itu dengan tangan mereka dan merapikan ruangan.
"That's enough for today. Good job, Sya, as always!"
Sorot silau dari lighting yang terus menyala selama setengah jam lebih itu akhirnya satu-persatu redup namun belum sanggup untuk mengembalikan suhu ruangan yang sempat dibuat panas. Perempuan itu menurunkan jaket berbulu yang menggantung di bahu, lalu mengangsurkannya pada penata busana untuk menyimpannya ke tempat semula.
Dengan kaki jenjang yang berlenggak-lenggok keluar dari ruang pemotretan, perempuan lain membuntuti di belakang sambil membawa kipas angin portable yang lantas dia berikan pada perempuan berkaki jenjang tersebut. Hiruk pikuk lorong gedung lantai 5 menyambutnya sepanjang jalan menuju private room miliknya yang hanya berjarak dari ujung lorong ke ujung lorong lainnya. Panas, gerah, pengap, sudah seperti makanan sehari-hari. Dan tentunya belum ada yang sebaik ini meski kedengarannya tidak enak.
"Mind to walk out for a lunch or-"
"Just let me sit for a while. Then we can go for a lunch outside." Melepaskan stiletto yang menyangkut di telapak kakinya begitu ketat hingga membuatnya sedikit terasa nyeri. "Oh ya satu lagi, tolong ambilkan air hangat ya. Kaya biasanya."
Perempuan yang masih berdiri di samping sofa tempatnya duduk itupun lantas mengangguk patuh dengan segurat senyum di bibir. "Oke, Sya! I'll be back in a minute!"
"Thank you, Fir." Balasnya lirih, sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya seharian ini. "This job kills me slowly, literally."
oOo
Makan siang selalu menjadi hal favorit ketika sudah seharian penuh pekerjaan menggerogoti energi tubuh dengan begitu mengerikan.
Melihat plang Sushi Tei yang terpampang besar di atas gedung sanggup membuatnya segera mengambil langkah panjang dan memutuskan untuk makan siang disini saja. Selain dari tempatnya yang hanya diseberang gedung Woman Magazine, kebetulan sudah lama sekali tidak menikmati makanan khas Jepang ini di lidahnya. Rasanya begitu menggugah ketika hanya melihat nama restoran tersebut dari jendela private roomnya di tempat kerja. Nori yang sangat dia rindukan, pun rasa yang begitu lidahnya dambakan.
"Sya, tadi pas lo pemotretan, ada yang telfon gue buat minta jasa lo sebagai model." Fira membuka obrolan siang ini sembari menggerakan sumpit dengan tangan kanan untuk mengambil sushi. Baru melirik perempuan dihadapannya ketika mengarahkan sushi tersebut ke dalam mulutnya yang siap untuk mencecap rasa enak di lidah.
"Oh ya? Siapa?" Responnya terkejut, sedikit sumringah karena mungkin sudah lama sekali mendengar kabar seperti ini dari bibir Fira. "It's been like long time since you said the same things."
Apalagi setelah kejadian....ah sudahlah. Tidak usah di ingat-ingat lagi. Tidak ada gunanya.
"I'm sorry I don't mean to make you sad when I tried to tell a good news."
"Don't mind, Fir." Menarik sudut bibir membuat senyuman lalu kembali menikmati hidangan di depan mata.
"Oke, jadi, orang yang telfon gue adalah orang suruhan. I don't know, sepanjang dia telfon, gue terus-terusan denger kata 'bos saya'. Ya intinya bosnya dia itu pengen ketemu dan nyuruh asistennya ini buat telfon gue. Bosnya butuh model. Dan dia butuh lo buat jadi modelnya dia." Jelas Fira yang selama beberapa saat menjadi atensi perempuan di depannya.
"Terus lo terima?"
Fira menggeleng. "Belum ada kesepakatan resmi, Sya, tenang aja. Gue belum bilang kapan gue siap ketemuan sama bosnya itu. Apalagi gue belum ngomong sama lo." Lanjutnya gugup. "Jadi, pertanyaannya, lo siap nggak kalo nerima job lagi diluar Woman Magazine? Gue nggak maksa, Sya. Gue juga ngertiin sih akhir-akhir ini..."
"You know what you have to do, Fir."
Alesya, dia percaya kalau Fira tahu betul apa yang harus dilakukan. Alasan kenapa Alesya mau menerima Fira sebagai asisten sekaligus managernya adalah karena Fira selalu tahu apa yang dia rasakan, bagaimana moodnya, dan apa pengaruhnya dengan pekerjaan modelnya saat ini. Fira sangat tahu betul tentang itu. Namun sayangnya, Fira justru terlihat panik. Alesya memaklumi itu. Insiden dirinya uring-uringan akibat pemberitaan media yang semakin menggila, membuat Fira semakin picky dalam memilah job untuknya.
"Alright. I know what I've to do." Fira tersenyum. Raut panik di wajahnya berangsur-angsur hilang dan kembali menikmati sushi dengan tenang. "Oh ya, satu lagi. Gue nggak tau sejak kapan gue jadi cenayang gini, but I think, this job will approriate to you. With right person absolutely!"
Sejenak, Alesya berhenti menggerakan sumpitnya di tangan kanan. "Maksudnya, Fir?"
"Lo tau? Gue sempet nanya siapa nama bosnya. Dan pas gue tau, justru bikin gue shock setengah mati dengernya!" Fira memegangi dadanya seolah-olah dia kembali merasakan momen yang sedang diceritakan. Begitu mendebarkan dan mengagetkan. Terlihat dari raut wajahnya.
Sementara sang lawan bicara semakin mengerutkan alis mendengar penuturan Fira. "So?"
"Yeah, the boss's name is Arsyadian Putra. Hell! Lo tau 'kan Arsyad? Crazy rich young boss in this age? Oh shit! Gue bahkan lupa napas waktu asistennya ngucapin nama itu!"
For God sake, Arsyad? That young boss? Tentu saja, Alesya tahu siapa laki-laki itu.
Tapi...kenapa dia jadi uhm ragu?
Atau mungkin lebih tepatnya Alesya alergi mendengar kata 'crazy rich young boss'.
Bersambung...
cantiq kan? kaya aku mhehehe
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.