[12] Tapi Aku Enggak

296 58 20
                                        

Karena diteror nyokap yang terus-terusan nanya kapan gue bawa Alesya ke kantor, mau nggak mau gue harus bungkus semua makanan yang gue pesen di Sushi Tei. Tadinya gue mau makan disini, bareng Alesya. Tapi karena nyokap udah nggak sabar pengen cepet selesaiin job listnya hari ini, yaudah, gue bisa apa? Gue liat-liat, Alesya juga nggak keberatan untuk makan semua sushi pesenannya di kantor nyokap aja sambil kerja.

"Sya, you really okay?" Gue menenteng semua keresek makanan tanpa memberi kesempatan untuk Alesya membawanya begitu keluar dari mobil. Of course I am. This is man's job!

Alesya berjalan di samping gue dengan raut wajah sungkan dan melambatkan gerakan kakinya. "I'm pretty okay, why not? Sini, aku bawain satu. It seems heavy to bring alone."

Refleks, gue menyimpan tangan gue ke belakang badan bermaksud menjauhkan keresek yang gue jinjing dari jangkauan tangan Alesya. "Enggak, Sya! Kamu jalan aja. Udah ditungguin Mama tuh."

Alesya masih bungkam dengan bibir mencebik. I swear she looks cute when she's mad. Nggak ada serem-seremnya sama sekali.

"Tapi ada makanan aku juga 'kan disitu?" Kata Alesya masih nggak mau kalah. "Punyaku aja siniin."

Dengan enteng, gue pun menggeleng. "Nah!"

"Arsya, Alesya!"

Pandangan gue otomatis berpaling ke depan begitu mendengar suara yang familiar di telinga. Nggak salah lagi, itu nyokap. Matanya natapin gue dan Alesya berkerut-kerut seolah ada yang aneh. Keknya nyokap liat deh keributan kecil gue dengan Alesya.

"Ditungguin dari tadi ternyata malah ribut disini. Yuk, langsung ke studio!" Mama cuma geleng-geleng kepala. Terus narik tangan Alesya sampe gue sendiri bisa liat dengan jelas Alesya kaget dengan gerakan spontan yang dilakukan Mama.

"Ma, itu tangan manusia loh bukan kambing! Nariknya gitu amat." Protes gue yang sama sekali nggak di respon nyokap.

Alesya yang berada dua langkah di depan gue justru ketawa cekikan. Dari raut wajahnya sendiri, kayanya Alesya nggak keberatan ditarik gitu aja sama nyokap ke ruang photoshoot. Tanpa sadar cheerfull facenya Alesya nular ke gue. Dan sebelum kami berpisah di pintu studio, gue menatap Alesya untuk bilang sesuatu.

"Aku simpen ini dulu, oke?"

Alesya mengangguk, tersenyum dan melambaikan tangan seolah lagi mengatakan 'duluan'.

Gue meleleh di tempat.

oOo

Yang terakhir gue inget, Alesya masih pemotretan dan gue mainin hape sambil tiduran di sofa ruang kerja nyokap. Tapi sekarang, yang gue liat adalah ruangan serba terang benderang karena semua lampunya menyala. Otomatis, gue pun melirik ke arah jendela kaca yang berada tepat di seberang sofa udah terhalangi gorden putih. Artinya apa, guys?

Ini udah malem dan gue ketiduran.

Fuck!

Grasak-grusuk gue di sofa sambil benerin kemeja biar nggak keliatan bangun tidurnya. Gue harus keluar. Memastikan kalo Alesya masih pemotretan karena gue ngerasa ini tanggung jawab gue untuk melakukan itu. Dia kesini bareng gue. Pulang pun harus sama gue karena gue yakin, nyokap bakal ngelarang Alesya balik kecuali dianter gue.

"Eh, kok buru-buru gitu?"

Gue baru mau jalan ke arah pintu saat seseorang membukanya dari luar. Alesya.

"Udah selesai photoshootnya?"

Alesya menutup pintu. Menghampiri gue yang masih berdiri dekat sofa karena nggak keburu buka pintu. Menatapnya dengan bingung juga linglung. Pasti abis ini gue diketawain.

"Udah kok. Baru aja."

"Serius?"

"Iya serius." Alesya ngangguk. "Kamu kenapa sih? Kok kaya panik gitu?"

Wajah santai Alesya, ditambah suara tawanya yang terdengar di telinga, bikin gue sadar kalo nyawa gue masih belum kekumpul semuanya. Gue pun ikut tertawa. "Nggak papa. Aku pikir udah beres dari tadi. Makannya aku panik."

Yang gue liat, Alesya tersenyum. Terus duduk di sofa single untuk melepas sepatu tingginya. Alis gue mendadak berkerut liat tangannya yang bergerak ngusapin ujung telapak kakinya.

"Oh, takut dikunciin Tante Talisha sendiri ya?"

Sayangnya, fokus gue bukan lagi pada omongan Alesya.

"Kaki kamu kenapa?" Gue nanya.

Alesya yang sempet nundukin kepala, langsung menengadah sambil menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga. Damn. Bukan saatnya buat terpesona, dude!

"Oh ini," Alesya nunduk lagi. "nggak papa. Kalo kelamaan pake stiletto suka gini. Agak lecet."

"Sakit?" Gue mendorong meja yang menghalangi langkah gue buat berjongkok di depan Alesya, mau melihat sendiri kondisi kakinya yang katanya lecet.

"Nggak terlalu sih. Udah bisa kok lagian."

"Kalo sakit, kenapa masih dipake?" Pelan gue menyentuh ujung telapak kaki Alesya yang katanya agak lecet. Ternyata bener, bukan cuma lecet tapi juga sedikit merah. Gue semakin mengusapnya pelan sebelum wajah gue terangkat menatap Alesya yang duduk di sofa. "Di obatin dulu ya?"

"Nggak, nggak usah, Arsya. Nggak papa." Gue tau, pasti Alesya nolak.

"Aku lagi nggak mau berdebat sama kamu, Sya." Gue pun bangkit. Meninggalkan Alesya sebentar untuk menyuruh OB mengambil beberapa obat, air hangat dan handuk kecil.

Gue nggak peduli Alesya masih memanggil nama gue, nyuruh gue buat nggak usah peduliin lecet di kakinya. Gue nggak peduli.

"Kamu bisa nggak peduliin diri kamu sendiri, Sya. Tapi aku enggak."

"Let me cure you."

oOo

Gue memandangi Alesya yang masih diem sambil nikmatin sushinya. Iya, untung gue inget kalo tadi sempet beli sushi dan belum dimakan sama sekali. Begitupun Alesya. Jadi, beres ngobatin lecet di kaki Alesya, buru-buru gue nyuruh dia makan sebelum akhirnya gue nganter dia pulang. Gue nggak mau gara-gara masalah ini, masalah sepele ini, dia lupa makan.

"Kurang nggak?"

Cuma gelengan kepala yang gue dapet dari Alesya. Gue nggak tau apa cewek itu marah atau terlalu anteng nikmatin sushinya sampe nggak mau ngomong. Jujur, gue sendiri ikutan bingung dengan suasana yang ada.

"Soal tadi, aku nggak tau kenapa tiba-tiba jadi over react. Maaf kalo bikin kamu nggak nyaman." Gue berdehem. Ngilangin canggung yang mendadak nyangkut di tenggorokan. "Semoga kamu ngerti dan nggak marah."

"Nggak, kamu nggak perlu." Alesya menggeleng lagi. "Maksudku, kamu nggak perlu minta maaf. I should thanked to you for those. Really." Sebelah tangannya menyentuh punggung tangan gue yang dsri tadi nangkring di atas lutut. "Makasih ya! Lain kali aku bakal peduli soal diri aku sendiri."

"Sya,"

"Kenapa?" Alesya nyaut.

"Apa ada kesempatan buat aku untuk lebih dari sekedar peduli sama diri kamu sendiri?"

Cewek di depan gue tersenyum bingung. "Maksudnya?"

"Can I be a man who can love you with the way you deserve?"

Bersambung...

Almost 1000 words but i make it less. I'm sowryyyyyy

How was this part?

Satisfying?

Worst?

Just comment in line 😘

12/08/19

Gadis SampulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang