Bab I - Malam Musim Panas (3)

34 0 0
                                    


Tudung jaket menutupi wajah Irene. Dia melangkah cepat menuruni anak tangga menuju lantai dua. Bila saja bukan karena lantai kayu, setiap entakkan kakinya pasti telah menggema menyampaikan kekesalan yang tersemat di dalam benaknya.

Verndari ini... Verndari itu... tingkatan bodoh!

Dia mulai berlari—terus berlari melewati siswa-siswi menuju lantai dasar dan kembali naik ke lantai dua, melintasi lorong penyeberangan ke gedung lain, hingga berhenti di depan pintu bertuliskan 'Library' pada papan di atasnya. Irene tidak memahami arti dari kata tersebut, tapi dia yakin Luciana pernah menjelaskan bahwa tempat ini tidak lain adalah perpustakaan.

Irene mengatur napasnya di sisi pintu. Tubuhnya sangat hangat. Peredaran darahnya yang sedari tadi berkemah di kepala dan dadanya, berkat kedua perempuan konyol itu, berangsur kembali lancar. Apa boleh buat? Jika tidak melakukannya, dia tidak akan tenang.

Ruang perpustakaan terlihat tidak lebih dari sebidang ruang yang tidak jauh lebih besar dari ruangan-ruangan lain di gedung Connla. Pintunya pun terkesan kuno berkat warna cat yang sedikit memudar. Irene menggeser satu-satunya pintu masuk perpustakaan. Penerangan lampu-lampu gantung sontak menyambut lembut matanya.

Di dalamnya, beberapa murid tengah sibuk dengan kertas-kertas soal dan buku. Mereka tersebar bak di hamparan luas tanah lapang berkarpet seempuk kapas. Mereka terlihat sangat nyaman dengan duduk di kursi, bersandar di badan sofa, ataupun berbaring di karpet.

Dinding perpustakaan terbuat dari susunan dan rangkaian rak buku yang menjulang tinggi berputar melingkar. Tempat ini lebih cocok disebut sebagai menara seluas kastil, kecuali Irene sendiri belum pernah melihat secara langsung kedua tempat tersebut selain dari buku.

Cerah langit pagi hari menyapa dari langit-langit transparan perpustakaan. Cahaya matahari yang masuk sama sekali tidak terasa panas maupun hangat, seolah-olah mereka jua hanya bagian dari lampu gantung; sebatas penerangan.

"Tarathiel, bisa kau jelaskan konsep ruang di tempat ini?" tanya Irene melihat awan bergerak di langit-langit. Tidak peduli berapa kali pun ke sini, dia selalu bingung melihatnya.

Pria tinggi berpenampilan jas hitam rapi dan berdasi kupu-kupu hitam dengan dalaman baju putih—seperti kepala pelayan, berdiri di balik meja kayu. Senyum di matanya terlukis dari balik kacamatanya. Kulitnya sangat putih, seputih kristal. Tatanan rambutnya rapi dan berkilau sekuning topaz.

"Milady, language device, please," ucap Tarathiel mengarahkan tangan berbalut sarung tangan putih ke belakang telinganya yang runcing.

"Ah—" mendengar kalimat asing itu Irene pun langsung memasang kepingan alat ke balik telinganya. Bagaimana dia bisa lupa? Tentu saja dia tidak akan memahami perkataan Tarathiel tanpa bantuan alat tersebut!

"Maaf atas kelancanganku, Tara. Aku enggak bermaksud untuk enggak sopan dengan mengajakmu berbicara tanpa memakai Perangkat Bahasa. Aku hanya lupa karena dua perempuan aneh tadi," sesal Irene menundukkan kepala.

"Tidak masalah, Nona Irene. Anda tidak perlu meminta maaf. Lagi pula, perkataan Anda baik-baik saja. Bukankah Anda yang tidak dapat memahami perkataan saya?"

"Tidak memahami perkataan orang lain tanpa sebab, apalagi menjawabnya, tetap saja salah dan tidak sopan,"

"Saya paham, Nona. Anda tidak perlu menundukkan kepala seperti itu. Tolong angkat kepala Anda. Anda membuat saya tidak nyaman,"

Irene membenarkan posisi berdirinya dan memandang lawan bicaranya.

"Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, Nona Irene. Pertama-tama alangkah baiknya bila Anda tidak berdiri di ambang pintu? Adapun bila Anda tidak ingin menutupnya—seperti biasanya—biarkan pintu itu menutup dengan sendirinya," kata Tarathiel tersenyum.

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang