Bab I - Malam Musim Panas (1)

41 0 0
                                    

Kicau merdu kelompok kecil burung Kutilang melayang luas di angkasa biru. Sinar pertama mentari menyapa lembut dari balik bukit, lalu perlahan mengarsir dinding-dinding pembatas yang mengelilingi kota Elpida dan menyeka gedung bertingkat yang diapit dua gedung lebih rendah di sisinya. Berbeda dari mayoritas bangunan di sekitarnya yang masih terlelap, ketiga gedung itu—gedung Connla, telah terjaga.

Di bubung gedung tertinggi Connla, Irene memandang kosong dinding-dinding kokoh dari celah kawat pembatas. Walaupun posisinya sekarang dengan dinding pembatas sangat jauh, namun itu tetap tampak menjulang tinggi.

Embusan angin hangat sesekali menerpa lembut bulu jaket parka serta rambutnya. Beriring sayup-sayup keramaian dari arah lapangan di lantai dasar, jemarinya terus mengetuk-ngetuk pelan kawat pembatas.

Pemandangan di hadapannya sama sekali tidak berubah. Hangat cuaca, terang sinar matahari, jajaran dinding-dinding membosankan—semua ini terasa sama dan nyata seperti halnya di hari-hari sebelumnya. Kalau begitu, apakah luka di bahunya semalam jugalah ilusi? Tidak. Bila memang sebatas mimpi belaka, lantas mengapa rasa sakitnya terasa begitu nyata? Tapi disisi lain, jika sebuah realitas... mengapa selalu muncul dan menghilang secara tiba-tiba?

Irene menempelkan dahinya pada pembatas; tangannya tetap mengetuk-ngetuk, namun kini lebih cepat. Di sela-sela pemikirannya, sensasi dingin tiba-tiba menyergap pipinya. Irene pun sontak melangkah menyamping seraya memegang pipinya yang sedikit basah.

Dia memandang masam Luciana yang tengah tersenyum di sisinya.

"Akhir-akhir ini kamu selalu tepat waktu untuk melihat matahari terbit, hm?" tanya Luciana sembari mengulurkan jus kotak.

"Kamu aja yang selalu telat bangun. Kamu lupa kenapa mentraktirku jus?" balasnya sembari memerhatikkan minumannya. Sepertinya kali ini Luciana dapat membedakan antara jus cokelat dengan kopi hitam.

"Heh, kamu baru menang tujuh kali! Tujuh—"

"Dengan kata lain kemenanganku dari awal kamu memaksaku untuk taruhan,"

Luciana tersentak. "Besok aku pasti akan mengalahkanmu!" serunya menunjuk Irene.

"Itu juga persis seperti apa yang selalu kamu katakan dari awal taruhan,"

"Eh?! Kamu... kamu pasti ke sini supaya bisa diam-diam melamun mesum, bukan?!"

"Lihat siapa yang berbicara,"

"Benar juga. Lagian, aku juga tidak keberatan jika kamu memikirkanku begitu,"

"Terus berharap Lucy, terus berharap,"

"Ah, kamu tidak perlu malu, Pasangan Senjaku!" Luciana mengacungkan ibu jarinya.

Irene melempar napas berat dan melengos, yang lantas ditiru oleh Luciana.

Panggilan hina itu—bagi Irene—dia peroleh semerta-merta karena klaim Luciana seorang. Bila dia tidak salah ingat, Luciana pernah mengatakan—

"Irene, aku baru sadar. Warna rambutmu yang hitam itu seperti malam tanpa bintang, sedangkan milikku kuning emas seperti siang yang cerah. Jadi kita seperti senja, 'kan? Yep, mulai saat ini kita itu Pasangan Senja!"

—Sungguh, mengingatnya saja dapat membuatnya merinding jijik.

Angin pagi mulai berembus kencang. Irene pun menahan rambutnya dari laju serangan angin. Bibirnya terus mengisap jus. Dari sela-sela poni rambut, dia melirik Luciana yang tampak acuh oleh tamparan rambutnya sendiri di wajahnya.

Kening Irene mengerut. Bila dilihat kembali, rambut Luciana lebih panjang dariku. Sejak kapan? Ah, apa dia memang selalu lebih panjang dariku? Atau... luka ini benar-benar mengacaukan pikiranku.

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang