Bab II - Tak Terlihat (6)

7 0 0
                                    

Langit oranye di atas kepala perempuan berpakaian pasien mulai memudar gelap. Dia sesekali melompat untuk mengintip ke dalam taman Asrama Perempuan. Dia tidak tahu lagi sudah berapa lama dia melakukan aktivitas ini di depan pagar besi.

"Via belum ke taman, kah? Sepi sekali!" kesal Irene kini menggedor-gedor pagar.

Suara gedoran yang dihasilkan cukup keras, tapi Irene tahu bahwa itu hanya terjadi di telinganya. Dia sadar betul bila semua bunyi suara yang berasal dari luar pagar atau lingkup asrama tidak akan terdengar dari dalam, bahkan bila ada orang di taman sekalipun. Itu juga alasannya dia tidak berteriak memanggil dan berharap ada penghuni yang melihatnya.

Pagar besi tiba-tiba terbuka ke dalam. Pada pegangan pagar terdapat tangan putih cerah.

"Kamu melupakannya," kata Caissa menyodorkan gelang identitas biru.

Di bibirnya tetap terlukis seyuman khasnya.

"Terima kasih," balas Irene mengambil gelangnya. "Aku baru sadar melupakannya setelah sampai di sini, jadi ya aku harap saja ada yang keluar. Tapi kenyataannya..."

"Haha, kalau begitu, silakan," lanjutnya mempersilakan.

Sore itu, Asrama Perempuan tampak sepi. Tidak ada penghuni yang beraktivitas di ruang tengah.

Irene langsung menuju kamarnya, tapi tidak langsung masuk. Dia terus memandang angka 119. Tangannya terasa begitu berat untuk mengenggam gagang pintu.

Jantungnya berdebar kencang. Dia tidak sakit, tapi entah mengapa dadanya terasa nyeri. Irene mengatur napasnya untuk beberapa saat sebelum memasuki kamarnya.

"Me... menyala..."

Kegelapan di kamarnya sirna, menyisakan kesunyian. Kamarnya tidak berubah, masih tampak rapi di tempatnya masing-masing, terkecuali handuk putih yang tersampir di kursi.

Dia raih dan peluk handuk tersebut. Aroma bunga kamomil masih melekat jelas. Air matanya perlahan menetes. Handuk yang semula kering kini kembali basah. Tangannya terus memeluk erat, badan serta kakinya bergemetar sebelum akhirnya ambruk di atas karpet.

Hatinya terasa sesak oleh jutaan kalimat yang tak terucap.

Malam itu, isak tangis menjadi melodi tunggal di kamar Irene.

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang