Bab II - Tak Terlihat (2)

16 0 0
                                    

Irene mendorong cepat gagang pintu kayu dan melesat masuk ke dalam. Dia berhenti seketika merasakan cahaya hangat yang sangat menyilaukan matanya. Dia lantas terpejam, menunduk, kemudian memandangi pasir putih yang memberikan sensasi lembut di sepatunya.

Silir angin mengurai rambut Irene. Suara ombak kecil dan dedaunan terdengar lembut di telinganya. Matanya memandang sipit, kemilau refleksi sinar matahari pada permukaan ombak tampak seperti hamparan ombak kristal tanpa batas.

"Sekarang Pantai Malves, serius?" ungkapnya kepada lelaki berambut kuning emas fringe pendek dan rapi yang duduk membelakanginya di kursi pantai.

Orang itu menoleh; kacamata hitam tersemat di wajahnya yang cerah dan bersih dari bulu halus, bibirnya asyik menyedot sedotan pada gelas jus jeruk. Kemeja biru laut bercorak bunga matahari beserta celana pendek mempertegas posisinya bila dirinya sedang berlibur.

"Tentu dong. Semangat musim panas itu selalu perlu," balasnya setelah meletakkan minumannya di meja bening.

"Yang lebih penting, hentikan kebiasaanmu langsung masuk ke ruanganku, Irene. Apa kamu tidak melihat ukirannya?" lanjutnya santai.

Irene menunjuk kebelakang dengan ibu jarinya.

"Ukiran di badan kayu pintu tadi pohon cemara, bukan benih. Jadi kamu pasti tidak sibuk, dan ternyata aku tidak salah,"

"Bila ukirannya berupa pohon cemara, itu berarti orang di dalam sedang tidak ingin diganggu. Irene selalu saja terbalik,"

Penjelasan itu keluar dari bibir wanita yang tersenyum seraya melambaikan tangannya ke arah Irene. Dia bangkit dari kursi pantai dan berjalan mendekat. Kemeja putih yang sedikit kebesaran sesekali teterpa angin di pahanya. Rambutnya yang pendek sebahu pun tak ayal bergoyang berirama dengan langkah kakinya.

Dia berhenti di depan Irene, sedikit menunduk, dan merapikan rambutnya.

"Bagaimana kondisimu?" tanyanya begitu lembut.

Irene melirik ke mata bulat coklat gelap di hadapannya.

"Ah, Ail, aku tidak melihatmu di situ... tapi-tapi, bukan salahku kalau lupa! Pintu aneh itu cuman dimiliki orang aneh seperti dia saja!" balasnya sambil menunjuk direktur.

Pintu ruang direktur memang paling unik. Pada badan pintu terdapat ukiran kayu berbentuk benih yang dapat berubah bentuk menjadi pohon cemara berserta akar-akarnya dikala direktur sibuk.

Mekanismenya? Irene tidak tahu. Seperti halnya luas lorong Connla, perpustakaan, atau lingkungan hidup berupa pantai di dalam ruangan seperti sekarang ini; itu hanyalah ketidakmasukakalan yang telah melebur di kesehariannya.

"Benar juga, ya. Irene mohon maklum ya, memiliki direktur yang nyentrik,"

Irene mengangguk-angguk berseling suara "Heem, heem,".

"Oh, kenapa Ail masih betah sama dia, sih?" lanjutnya.

Irene begitu menikmati tangan wanita berkulit putih pucat yang terasa sangat hangat dan lembut membelai rambutnya. Senyum di bibir tipis serta tatapan matanya sangat nyaman.

"Mau bagaimana lagi? Terkadang kamu harus melakukan sesuatu yang tidak kamu suka karena itu pekerjaanmu," balasnya tetap tersenyum kecil.

Wanita itu, Ailene Springstar, begitu cermat merapikan setiap untaian rambut Irene yang mencuat berantakan. Selesai merapikan rambut Irene, dia berjongkok dan membenarkan poisisi kerah pakaian, lalu memasukkan beberapa kancing ke lubang yang tepat.

"HAAAH—sudah aku duga kamu memaksa Ail untuk jadi sekretaris!" serunya memeluk Ailene sambil menunjuk direktur menggunakan gelas yang selama ini dia genggam.

Lelaki itu melepaskan kacamatanya; memperlihatkan mata berwarna hijau daun.

"Hei, Ailene. Jangan bercanda. Dia itu selalu lebih percaya kepadamu daripada diriku!"

Ailene hanya tertawa kecil di dalam pelukan.

Dia membebaskan tubuhnya dan mengambil gelas di tangan Irene.

"Dari dulu sampai sekarang, Irene dan Pak Azrael selalu akrab, ya?"

"HEI!" bentak mereka berdua bersamaan. Irene melengos sambil melipat tangannya.

Ailene pun tak ayal kembali tertawa. Dia lalu bersandar pada badan pohon kelapa.

"Jadi, apa yang ingin Irene sampaikan hingga datang kemari terburu-buru, begitu?"

"Ah?!"—jarinya berjentik—"Benar juga, kamu sih, Az! Basa-basi terus!

"Aku langsung saja. Perempuan yang kamu kirim tadi bilang, kamu memintaku ke sini. Ada apa? Di mana Lucy?" Raut wajahnya berubah serius, demikian dengan nada suaranya.

Ailene yang mendengar pertanyaan itu langsung menoleh ke arah Azrael. Eskpresi ketidaksetujuan terlukis jelas di wajahnya. Namun Azrael yang tahu akan makna dari ekspresi itu hanya melirik sejenak, sebelum kembali menatap Irene.

"Cepat atau lambat, ini akan terjadi. Kita tidak bisa selalu menjauhkannya. Lagi pula, dia adalah putri dari sahabatmu,"

"Aku tahu, aku tahu itu. Tapi... kita sudah berjanji kepada Ru—"

"Itu kenapa, aku yang akan mengambil tanggung jawab untuk memberitahunya."

Ailene memandang cemas Irene.

Dia berdengus panjang, "Itu kenapa kamu memintaku untuk menggantikanmu sebentar di sini..."

"Astaga Azrael, apa yang telah kita perbuat..." imbuhnya bergumam pelan.

"Jadi, apa sekarang lagi tren membicarakan orang tepat di depannya? Kalian membahas apaan sih?"

Irene yang sedari tadi terdiam pun akhirnya berusara.

Pernyataan itu lantas membuat Ailene tersenyum, begitu pula Azrael tertawa lebar.

"Dengan sikapmu ini, kamu tidak akan mendengar penjelasan apa pun sebelum tahu keadaan Luciana, benar?" tanya Azrael.

Irene mengangguk, "Yep. Kamu memang tahu di mana dia sekarang? Di mana?"

Azrael berdiri dan menggambar sesuatu di udara dengan jari telunjuknya. Seiring pergerakan jarinya, dari ujungnya keluar cahaya ungu terang yang membentuk suatu simbol yang kemudian menghilang.

Tepat setelah simbol itu menghilang, pasir di kaki Irene perlahan menghilang dan berubah menjadi karpet merah. Tidak hanya itu, semua yang berada di sekitarnya ikut berubah. Pohon kelapa menjadi gantungan tiang berdiri, matahari semula berubah menjadi lampu kristal gantung, kursi berserta meja pantai menjadi sofa dan meja kayu. Laut yang berada di belakang Azrael kini tidak lain hanya dinding kokoh dengan lukisan-lukisan.

Nuansa pantai semula berubah mutlak menjadi ruang kerja direktur.

"Kemarilah."

Irene menghampiri Azrael yang membelakanginya. Sang direktur kemudian menekan beberapa bagian pada salah satu lukisan, yang lantas membuat dinding membelah menjadi dua. Di dalamnya berupa sebidang ruang dengan lampu gantung klasik dan ukiran akar tanaman yang menyala ungu, bergerak di dinding metalik.

Irene menganga, kemudian membatin, "Oke, perubahan ruangan tadi tidak lagi mengejutkanku. Tapi, sekarang apa? Ruang rahasia? Direktur macam apa ini!"

Azrael masuk ke dalam ruang tersebut dan disusul Irene. Ailene tampak melambai ke arah Irene dari luar, sebelum pintu metalik menghalau pemandangannya.

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang