Bab II - Tak Terlihat (5)

11 0 0
                                    

Meski matanya terpejam, otaknya terus berputar mencerna penjelasan Caissa. Suara Caissa yang lembut dan jelas terus terngiang tanpa henti. Irene tidak tahu sudah berapa lama dia hanya terpejam tanpa bergerak.

"Aaaaah!! Tidak ada gunanya!" batinnya.

Dia pun terbangun dan menghampiri Caissa yang tengah membaca buku.

Caissa yang menyadari kehadiran Irene lantas menutup buku bacaannya.

"Ya? Bagaimana dengan tidurnya?" tanyanya tersenyum.

Irene menoleh-noleh sejenak lalu kembali ke Caissa.

"Di mana Az?" tanyanya melirik Caissa yang posisinya lebih rendah darinya.

Bukan jawaban melainkan tatapan lembut yang menyambut pertanyaannya.

Irene pun seketika tersadar, lalu memijat matanya sejenak, dan duduk di sebelah Caissa.

"Aku tidak bermaksud-"

"Tak apa," dia kembali tersenyum. "Ini kali pertamanya kita bertatapan. Tidak heran banyak pelajar yang mengeluhkan tatapanmu. Bahkan, Ayda juga mengomel, lho. Jangan salah, aku suka warna merah matamu, kok!

"Oh, ya. Pak Direktur ada pertemuan yang harus beliau hadiri,"

"Ayda... oh, orang itu. Salahnya sendiri kenapa berbadan pendek,"

Caissa lantas tertawa kecil, lalu membalas, "Ahaha, kasar sekali menilai badan perempuan seperti itu. Meski sesama perempuan, itu menyakitkan, lho!"

Ujung bibir Irene sedikit menaik-

Apa yang kamu pikirkan, Irene? Beraninya kamu tersenyum! Apa kamu pantas untuk tersenyum sekarang? Terlebih di hadapan Luciana!

-Namun langsung kembali datar.

Dia pendam dalam-dalam pemikiran tersebut bersama embusan napas kecil.

"Pagi itu-"

Caissa mengangkat telunjuknya.

"Aku menyebut namanya, bukan untuk membuatmu merasa bersalah," potongnya.

"Aku mengerti... kau tidak ingin aku canggung di depanmu, benar?"

Caissa membalasnya dengan senyuman manis.

"Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan tanpa sepengetahuan Pak Direktur? Aku yakin semua pembicaraan ini tidak hanya sebatas ini, benar?"

Mendengar itu membuat jantung Irene tiba-tiba berdebar berat sejenak.

Dia lantas berusaha membalas Caissa dengan senyuman, tapi berakhir senyum kecut.

"Baiklah, kalau begitu, apa yang tidak kau ceritakan kepadaku? Mengenai Rune,"

"Tergantung dari mana kamu melihatnya. Aku tahu, kamu ingin tahu semua tentang Rune. Tapi aku juga penasaran, sejauh mana kamu ingin mengetahuinya,"

"Bagaimana cara kerja Rune? Atau dampaknya,"

Caissa mengambil kertas kosong dan secarik pena bulu dari Penyimpanan Dimensinya. Dia lalu menggambar sebuah pistol, peluru serta magazin yang terpisah dari senapan, dan satu peluru yang melesat dari ujung pistol. Semua dilakukannya menggunakan tangan kirinya.

Dia lalu menunjuk salah satu gambarnya dengan pena.

"Kamu sudah paham kalau magazin ini bertindak seperti permata Rune, benar?"

Irene mengangguk.

"Kalau begitu, peluru di samping magazin ini adalah kekuatan Rune. Dan yang ini, manusia, bertindak sebagai media penarik pelatuknya-"

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang