Bab III - Keputusan Gegabah (2)

7 0 0
                                    

Irene mematung di ambang pintu. Kedua tangannya masih mengenggam dua knop pintu. Dirinya kembali menjadi pusat perhatian. Namun kini orang-orang berkemeja dengan motif lambang aneh di punggung yang menatapnya dengan intens.

Orang-orang itu duduk mengelilingi meja bundar.

Seseorang dari mereka, pria bertubuh besar, menggebrak meja. Kemeja yang dia kenakan tampak sesak berkat bentuk tubuhnya. Rambutnya yang jabrik tapi rapi, menambah kesan tinggi akan tubuhnya yang jangkung. Dari perawakannya dia seorang perenang. Kulit bibirnya yang tampak hitam begitu kontras dengan kulit tubuhnya yang putih kebiruan.

"Apa maksudnya ini? Kau tidak memiliki etika?"

Suara lelaki itu cukup lantang dan keras, sekali pun dia tidak sedang membentak.

"Maaf-maaf, saya tidak tahu bila sedang ada rapat..." balas Irene menundukkan kepala.

"Ada rapat atau tidak, kau harus mengetuk! Bukan langsung membuka seenaknya!"

"Iya, saya paham, saya mengerti..."lanjut Irene.

"Berhentilah membela diri! Kau tidak malu dengan gelangmu itu?"

"Maaf, kenapa Anda jadi membawa-bawa peringkat?"

Kini Irene tidak lagi menunduk.

"Hei!"

Pria itu sontak kembali menggebrak meja dan bangkit dari kursinya. Tindakannya itu sempat mengundang perhatian beberapa anggota rapat lainnya.

"Sekarang kau kurang ajar terhadap seniormu?"

Suara lelaki itu sedikit meninggi. Wajahnya yang berjambang lebat rapi serta alisnya yang kini menukik tajam membuat tatapannya semakin mengintimidasi.

Irene melepas kedua knop pintu dan menatap balik pria yang berjalan ke arahnya.

"Saya telah minta maaf, apa itu—"

"Erik. Cukup."

Perkataan Irene terpotong oleh suara pria lain. Suara itu berasal dari pria berkacamata yang duduk jauh di ujung dari tempat Irene berpijak. Rambutnya hitam pekat pendek klasik tersisir berantakan. Meskipun berantakan, wajahnya yang putih malah menambah karismanya sebagai pria.

"Kembali ke kursimu." Tambahnya.

Erik yang tengah berjalan ke arah Irene hanya membalas perintah itu dengan berdecak. Dia sempatkan untuk melirik hina Irene, lalu melangkah kasar kembali ke tempat duduknya.

"Anda, Irene, benar?" tanya pria berkacamata itu.

Irene mengangguk, namun tatapan matanya masih terlihat kaku.

"Benar, saya Irene."

"Hm. Caissa, saya rasa dia tamu untukmu. Silakan kamu menemaninya. Rekapitulasi rapat ini akan disampaikan Lear,

"Kamu tidak keberatan kan, Lear?"

Sekarang lelaki berambut acak berantakan di samping Erik hanya memberikan jempol.

Bersama dengan itu, Caissa merapikan buku catatan serta kursinya.

"Baik. Kalau begitu, aku permisi."

Dia menghampiri dan menarik lengan Irene keluar. Langkahnya tampak terburu-buru. Irene yang ditariknya pun sempat kesusahan mengimbanginya. Tanpa sepatah kata, dia menarik Irene menuju ruang istirahat staf di lantai yang sama, lantai empat Gedung Utama.

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang