Bab III - Keputusan Gegabah (3)

4 0 0
                                    

Ruang istirahat terdiri dari bermacam-macam sofa, mesin permainan, mesin minum dan camilan, serta berbagai macam rak buku. Pada lantai duanya, terdapat kasur lipat dan dapur yang dapat digunakan kapan pun.

Di dalam ruangan, Irene disambut Azrael yang tengah duduk di atas rerumputan. Matanya terus menatap arah pintu masuk. Tangannya yang di atas meja menopang dagunya, sedangkan bibirnya menghisap sedotan.

"Kamu! Karena makhluk sepertimu awal hariku sangat buruk!!!" bentak Irene menggebrak meja kayu.

Suara denting gelas jus yang tercipta tidak membuat Azrael bergerak atau bersuara.

Merasa dirinya diacuhkan, Irene yang hendak kembali menggebrak meja dihentikan oleh cangkir hangat yang mendarat beberapa inci dari wajahnya.

"Percuma, meski mata Beliau melamun, Beliau sedang tertidur. Kamu hanya akan membuat tanganmu terluka," kata Caissa.

Senyum manis tetap melekat di wajahnya.

Disela napas yang menderu, dahi Irene mengernyit.

"Oke! Beri aku alasan untuk tidak menyiramnya! Tolong jangan beri aku alasan yang bagus!" pintanya kepada perempuan yang tengah melepas kemeja putih.

"Itu kopi," balasnya singkat.

"Cukup adil."

Dia duduk bersandar di kaki sofa dan mencicipi kopinya. Sensasi hangat begitu nikmat memanjakan lidahnya. Otot tubuhnya yang menegang kini mulai melemas.

"Lagi pula, dengan begini kamu tidak perlu sungkan untuk bertanya apa pun, benar? Hanya kita berdua. Atau kamu memang ingin ketemu Pak Direktur?"

Caissa ikut duduk di hadapannya. Di tangannya terdapat piring berisikan makanan.

Kini tubuh mereka saling berhadap-hadapan.

Irene menoleh ke depan dan menarik lengan jaket parkanya.

"Aku mencari Az untuk mencarimu. Semalam, apa kamu yang mengobatiku? Aku tidak terlalu ingat setelah terbangun karena... tanganku ini... setelahnya apa yang terjadi?"

Caissa mengangguk sekali, "Kamu pingsan di kamar mandi. Sepertinya, dari suaranya, sebelumnya kamu muntah. Karena itu, ini makan lah dulu. Sudah berapa hari kamu tidak makan, benar? Aku tidak akan memaksa, tapi aku tidak akan menceritakan apa pun kalau kamu tidak makan."

Dia tersenyum sembari menyuguhkan piring.

Irene tersenyum pahit dan membatin—

"Berhentilah... kamu mengingatkanku akan Lucy..."

—Lalu menukar gelasnya dengan niat baik Caissa.

Dia mulai melahap makanannya.

Air matanya tiba-tiba menitik. Jemarinya yang memegang sendok berdecing di piring.

"Nasi ini terasa nikmat. Apa rasanya selalu seperti ini? Tapi Lucy tidak bisa merasakannya sekarang..." gumamnya di antara butiran nasi di mulutnya.

"Luka seperti ini saja aku tidak kuat, bagaimana dengan Lucy? Meski aku tidak melihat lukanya, tapi... malam itu... darahnya sangat banyak... setiap malam... dia pasti kesakitan..."

Kilas ingatan akan tubuh Luciana yang penuh luka tiba-tiba melintas. Rasa mual seketika menyerang perutnya. Irene lantas menutup mulutnya dan terus berusaha untuk tidak membuang sia-sia makanannya.

Dia menghela napas panjang. Tiba-tiba, sesuatu mengusap lembut kepalanya yang lantas membuat air matanya semakin kencang berjatuhan dalam diam.

Dia kemudian menarik ujung tudung jaket dan menekannya ke dahinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang