Bab II - Tak Terlihat (1)

24 0 0
                                    

Mata Irene terbuka, menyipit, dan terus berkedip untuk beberapa saat. Pancaran cahaya lampu di atasnya terasa sangat menyilaukan. Dia berusaha duduk, lalu menyibakkan selimut putih di tubuhnya. Pandangannya tertuju ke pakaian krem yang dia kenakan, dan berlanjut menjelajahi sekelilingnya yang penuh dengan korden putih.

"Pakaian pasien... ruang kesehatan?" gumamnya pelan.

Tangannya mencengkeram lembut kepalanya yang terasa sedikit pening.

"Apa... apa yang terjadi..." gumamnya kembali.

Tetiba saja gambaran tubuh Luciana penuh luka menghampirinya. Irene pun sontak bergegas turun dari ranjang, namun dia langsung terjatuh sembari menarik korden; kain-kain yang mengitarinya pun lantas bergantian jatuh menimpanya.

"Lucy Lucy Lucy Lucy!" panggilnya dalam panik. Tangannya terus meronta berusaha melepaskan diri.

Dari arah luar, seseorang melepaskan korden dari tubuhnya.

"Di mana Lucy!"

Kalimat itulah yang terucap pertama kali sesaat melihat perempuan berpakaian gaun hitam satu potong dengan bagian atas tertutup jaket berwarna sama, di hadapannya.

Perempuan itu tidak menjawab, namun tangannya malah mendekat ke wajah Irene.

"Jangan sentuh aku!"

Irene menepis keras tangan itu dan menarik kerah jaket pakaian sang perempuan.

"Aku tanya, di mana Lucy!" serunya kembali. Matanya yang melotot terpantul jelas di bola mata sang lawan bicara.

Tetapi, perempuan itu tetap kukuh tidak menjawab dan terus mendekatkan tangannya ke wajah Irene yang lantas menepisnya kembali.

Orang itu menghela napas singkat lalu dengan cepat mendorong tubuh Irene hingga tersungkur, menahan tubuhnya di lantai menggunakan satu tangan, memasangkan alat di belakang telinga Irene, dan baru melepaskannya.

"Awalnya aku ingin mengecek kondisimu saja. Tapi dengan apa yang baru saja kau lakukan, sepertinya kau baik-baik saja. Kau dipanggil ke ruang direktur. Sekarang."

Irene menyentuh chip di belakang telinganya sejenak, lalu menatap canggung perempuan yang tengah berdiri sambil merapikan kerah jaket di hadapannya.

"Maaf, aku tidak tahu,"

"Simpan itu. Kau bisa berdiri?" jawabnya datar, demikian juga ekspresi wajahnya.

Irene mencoba menggerakan kakinya sekuat tenaga, tapi hanya dapat bergemetar.

"Berapa lama aku... di tempat ini?" nada suaranya seidkit ragu.

"Empat pagi, tiga malam,"

Jawaban sang perempuan membuat degup jantung Irene menderu keras.

"Ah? Se-selama... itu? Mustahil... kau pasti bercanda... 'kan?" tanya Irene memandang nanar. Bibirnya berusaha tersenyum, namun berakhir tersenyum kecut.

Tiba-tiba dari sisi perempuan itu muncul sebuah alat bundar sebesar bola sepak. Badan alat itu terlapis besi perak dan di tengahnya terdapat garis hologram. Alat itu seperti mesin penyimpanan yang terdapat di perpustakaan. Mereka sama-sama berbentuk mesin bola, memiliki satu mata hologram, dan melayang.

Tangan perempuan itu menadah di depan alat, kemudian dari mata hologram alat itu keluar sinar yang membentuk sebuah objek dan mewujudkannya tepat di tangannya.

Dia menyodorkan gelas dengan uap yang masih mengepul lembut.

"Minum. Jangan pikir macam-macam, beliau bilang kau menyukainnya. Terus setelah membaik, kau langsung ke ruangannya,"

Rune - Dunia Tempat Kita HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang