Hari sial (2)

194 86 25
                                    

Mohon maaf baru update. Lagi masa sibuk soalnya. Ini juga lagi ujian usbn, tapi tetap saya usahakan bikin. Sebelumnya makasih buat yang udah nanya-nanya kapan update arasanti, dan yang selalu vote serta komennya.

************************************

Ara telah berdiri sekitar lima belas menit lamanya, menunggu salah seorang sahabat dari Atta untuk keluar menemuinya. Memberikan informasi tentang keberadaan Atta.

Joe dengan lihainya mencari contekan di hapenya, sementara Bram terus mengawasi gerak gerik guru yang masih diam di depan sana, tanpa perduli dengan Ara yang berdiri dan terus meneriakinya

"Bram, Jo, sini!" suruh Ara yang sudah nampak kesal menunggu mereka selesai.

Tidak ada respon dari mereka berdua membuat kesabaran gadis berambut pirang pendek itu marah.

"Si Jo sama Bram liat hape, Buk." teriak ara.

Joe yang tadinya fokus mencari jawaban langsung panik untuk menyembunyikan hapenya, sedangkan Bram malah mengangkat kedua tangannya ke udara sambil berkata, "Ngak ada lihat hape saya buk. Sumpah demi anak dalam kandungan istri saya di masa depan, saya tidak melakukannya."

Semua siswa di kelas tertawa mendengarkan kata-kata Bram, tapi tidak dengan Joe yang semakin panik. Bagaimana tidak, sekarang pelaku kecurangan sudah jelas, dia.

Guru muda yang bernama lengkap Astuti itu mengangkat satu alisnya sambil tersenyum jahat. Tangan kirinya yang memegang pena merah sedang mengarah ke daftar absen kelas, berputar-putar mencari nama tersangka tersebut.

"Joedy Pati, letakan hapemu ke depan atau namamu akan saya coret dari pelajaran saya?"

Semua siswa yang masih hanyut dalam tawa langsung hening begitu saja. Tiap pasang mata tertuju pada Joe, begitupun dengan Ara. Ara sedikit menyesal dengan apa yang telah ia lakukan.

"Joe." kata Ara dari balik pintu. Joe menoleh dengan wajah masam. "Kasih aja."

Joe mengangguk, berjalan ke meja Bu Astuti untuk memberikan hapenya.

"Buk saya izin bentar dulu." Tanpa ada jawaban, Joe langsung melangkah keluar, menemui Ara.

"Kenapa sih, Ra?" bentak Joe kesal.

"Gue belum selesai ujian tau gak! Dan sekarang gue ga tau lagi harus isi apaan. Gue lupa belajar."

Ara hanya bisa diam sambil menggigit bibir bawahnya takut.

"Gue hanya mau nanya kabar Atta doang. Bu Hilda nanya soalnya." jawab Ara pelan.

"Astaga Ara....! gue juga udah usaha hubungi dia, tapi nomornya malah ga aktif."

Wajah Ara kelihatan kecewa atas informasi dari Joe.

"Yaudah, Makasih ya." ucapnya pelan. "Oiya, ini pakai aja hape gue."

***

Hari ini benar-benar hari sialnya seorang Nadiva Arasanti. bagaimana tidak, sejak Atta pergi meninggalkan perpustakaan, Bu Hilda langsung menceramahinya panjang lebar karena tidak menahan Atta untuk tetap diam di perpustakaan dan yang lebih parahnya lagi ia malah di bentak oleh Joe, Salah satu orang gila di SMA V-Nex.

Karena Moodnya yang sedari tadi terus buruk, akhirnya ia meminta izin pada Bu Hilda untuk pulang.

Bukannya langsung pulang ke rumah, melainkan ia malah menuju ke toko buku.

Didalam sana banyak jenis buku yang bisa ia baca. Mulai dari buku cerpen, novel, hingga ke buku pelajaran sekolah.

Dari semua banyaknya judul buku yang berada disana, pilihan Ara hanya satu, pada buku yang berjudul ILMU KEDOKTERAN. Sejak kecil Ara memang bercita-cita untuk menjadi seorang dokter.

"Ciih, Sok-sok-an baca buku tentang kedokteran." ucap seseorang. Ara menoleh bukan karena ingin tau siapa pemilik suara tersebut, tapi kaget bukan main, karena itu adalah suara seorang ATTA.

Ara menantap lelaki itu dengan sinis. "Mau jadi apa lo baca buku gituan? Mau jadi penjaga Mayat? Atau tukang gali kubur?" lanjut Atta sambil tertawa kecil.

Ara menutup buku yang tengah ia baca, memfokuskan dirinya pada sosok pria yang telah membuat moodnya semakin buruk hari ini.

"Kenapa sih lo harus tinggal dibumi? Kenapa sih lo harus pindah ke sekolah gue? Dan kenapa lo selalu ngikutin gue?" tanya Ara kesal.

Nafasnya mulai tak beraturan. Seperti orang habis lari marathon. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia mendongakan kepalanya ke atas agak air matanya tidak tumpah. Ia berusaha menjadi seorang Nadiva Arasanti yang tidak lemah di hadapan siapapun.

"Harus gue jawab?" tanya Atta polos.

Ara hanya bisa diam, mengumpulkan semua tenaganya agar ia tidak menangis di muka umum karena telah meluapkan semua kekesalannya.

"Ok, Bakalan gue jawab semua pertanyaan lo secara randome." kata Atta mesti tidak di respon oleh Ara.

"Kenapa sih gue harus pindah ke sekolah lo? Karena gue bosan di sekolah lama gue. Kenapa gue harus ngikutin lo? Gue ngak pernah ngikutin lo. Lo aja yang kegeeran. Dan yang terakhir, Kenapa gue harus tinggal dibumi? Eh, Tuan putri penguasa alam bawah sadar, Lo belum bangun-bangun juga ya? Lo pikir ini bumi punya bapak lo? Emg bapak lo yang buat? Ngak kan." jawab Atta panjang lebar sambil di iringi tawa.

Tanpa di sadari tetesan demi tetesan jatuh membasahi pipi tirus Ara. Ara hanya bisa menangis diam tanpa isak. Atta yang baru menyadari hal itu hanya bisa diam. Ia tak menyangka kalau perkataannya tadi bisa membuat Ara menangis, padahal niat awalnya ingin membuat dia tertawa dengan lelucon garingnya atau paling tidak membuat Ara kesal aja.

Lima menit sudah Atta berdiri diam melihat Ara yang terus menangis tanpa isak. "Ra, Maaf. Gue ngak bermaksud bikin lo nangis." sesal Atta pelan.

Tidak ada respon dari Ara. Gadis itu masih terus menurunkan air matanya satu persatu.

Wajah Atta mulai terlihat pucat. Dan Atta juga bingung bagaimana harus membuat gadis di hadapannya ini diam. "Ra, gue antar pulang ya. Gue benar-benar minta maaf." Ucap Atta panik sambil menarik pergelangan tangan Ara.

Ara hanya diam mengikuti langkah Atta keluar dari pintu toko. Menutup wajahnya dengan telapak tangan kirinya karena malu menangis di depan umum, sedangkan tangannya yang satunya lagi masih terus di genggam oleh Atta sampai menuju ke dalam mobilnya.

***

Meski sudah berada di dalam mobil dan sudah jauh meninggalkan toko buku, tapi tangan kanan Ara masih terus di genggam oleh Atta yang fokus menyetir mobil sambil berkata, "Gue minta maaf, gue ngak bermaksud bikin lo nangis." Kalimat itu terus di sebut oleh Atta, meski tidak di respon sama sekali oleh Ara.

Dua puluh menit telah berlalu, mobil hitam Atta masih terus berjalan mengitari Jalanan Ibu kota Jakarta. Nafas Ara sudah mulai teratur, tapi wajahnya masih ia tutupi dengan telapak tangannya. Mungkin ia masih menangis atau ia malu untuk membuka matanya.

"Ta, Lo tau rumah gue dari siapa?"

"Gue ngak bawa lo pulang ke rumah, ta...tapi ke rumah gu...gue." Jawab Atta gugup.

Saat mendengar kalimat terakhir Atta, tangan kanan yang masih di genggam Atta ditarik dengan kuat oleh Ara.

"Lo mau apa?" Tanya Ara pelan. Nyaris tak terdengar.

"Kalau gue tau sekalipun, gue ngak bakal nganter lo ke rumah dalam kondisi nangis gini. Lagian gue ngak bakal sentuh lo kok. Di rumah ada bundo, lo tenang aja."

************************************

Minta kritikannya teman-teman... Oiyaa jangan lupa ikuti terus cerita Arasanti. Suport terus cerita ini dengan terus memberikan vote dan komennya.

Salam dari Arenatta

ARASANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang