Lima hari berdiam diri di rumah, hari ini akhirnya Claritta bisa masuk kantor. Keadaan bibirnya sudah membaik, Azelf selalu menelepon dokter untuk mengontrol, meskipun pria itu sedang sibuk bekerja.
Sebenarnya, Claritta masih ingin bermalas-malasan di rumah, tetapi melihat Azelf yang belakangan ini dipenuhi dengan kesibukan, membuatnya harus bangkit dari kemalasan, agar beban di kantor Azelf semakin sedikit.
Pria itu hampir tidak tidur. Masuk kamar saat tengah malam—setelah berkutat dengan pekerjaan kantor yang di bawah ke rumah. Benar-benar sibuk.
Pintu kamar terbuka, orang yang ia pikirkan hadir di sana. "Udah sarapan?" tanya Azelf.
"Ini juga mau turun buat sarapan."
Pria itu menarik tas laptop yang ada di atas singgel sofa. "Gue berangkat duluan." Lalu menghilang di balik pintu lagi.
Hanya begitu. Sangking sibuknya dengan pekerjaan, sampai perbincangan mereka hanya sebatas menanyakan "sudah makan?" Dan menjawab, "ya atau tidak".
Claritta segera menarik tas tangan dari atas tempat tidur. Ia sudah siap ke kantor. Lima hari libur sudah cukup, meskipun untuknya sendiri sangat kurang.
Keluar kamar, Claritta segera menuju tangga untuk mencapai lantai bawah. Baru melangkah di beberapa anak tangga, suara mobil Azelf sudah terdengar. Pria itu berangkat duluan.
_______
Claritta kini duduk di kursi kantin, di mana meja bundar ada di tengah ia dan teman-temannya.
Lima hari tak masuk, ternyata Claritta dipikir kena skors dari Azelf. Lucu sekali, memangnya ini sekolah? Lagi pula, Azelf bukanlah kepala sekolah.
"Jadi, apa hukuman Raja buat kalian?" tanya Claritta, padahal ia sudah tahu. Pemotongan gaji, pasti.
Sadina mencebik. "Nggak usah sok polos gitu, kayak nggak tahu aja."
Ia tertawa puas. "Lima hari nggak ngantor, ada kejadian apa aja, nih?"
Sengaja bertanya seperti itu, karena Azelf terlihat sibuk beberapa hari ini. Sudah pasti, ada masalah serius di perusahaan.
"Biasa aja, sih," kata Kayana, "selama kalian nggak nyari ribut lagi."
Ketiganya langsung merengut. Itu sindiran halus untuk kejadian lima hari lalu. Lagi pula, hari ini Claritta belum melihat sosok Satya. Apa pria itu masih sakit akibat dikeroyok?
"Satya nggak kenapa-napa, 'kan?" Claritta bertanya lagi.
"Nggak apa-apa dia," balas Diandra.
"Malah minta tambah ditampol!" sambung Sadina.
Terdengar helaan napas dari Kayana. "Udah, dong ... kalian jangan barbar seakan-akan kita ini masih di SMA."
Apa yang Kayana katakan memang benar. Saat menginjakan kaki lagi di kantor ini, Claritta berjanji pada diri sendiri untuk lebih menjaga sikap agar tak berbuat onar kembali.
"Lo bagus, asisten doang. Lo nggak ngerasain, apa yang dirasain bagian desain." Sadina berucap.
"Iya, noh. Sekali doang, kek, dia nolak desain kami! Eh, malah berikutnya, ditolak lagi, ditolak lagi. Kalau dia bisa, kenapa nggak bikin sendiri?" cerca Diandra.
Claritta tertawa kecil mendengarkan penuturan dua sahabatnya tersebut. Lucu sekali.
Kayana hanya menggelengkan kepala. "Udah, deh, nggak usah bahas si Satya lagi. Bisa-bisa, kalian berdua malah berubah jadi gunung api."
Seketika Sadina menggebrak meja, hingga membuat alat makan di atasnya berbunyi gaduh. Beberapa pasang mata orang yang ada di kantin, kini tertuju pada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My CEO is My Husband (END)
RomanceClaritta Ainsley wanita kabur dari rumah setelah dinikahkan oleh orang tuanya, dengan seorang laki-laki yang sangat ia benci. Azelf namanya. Sepuluh tahun dalam pelarian ke Canada, Claritta kembali ke Indonesia untuk menerima tawaran kerja dari sang...