Azelf berdeham agar Claritta mau menoleh padanya. Di tangan, ia tengah memegang piring berisi bubur untuk istrinya tersebut.
Bukan karena Claritta sedang demam akibat terlalu lama duduk di lantai ruang kantornya semalam, tetapi karena bibir perempuan itu yang sedikit bengkak akibat pendarahan.
"Mau makan, nggak?" tawar Azelf untuk kesekian kalinya, Claritta tetap bergeming, "gue udah telat masuk kantor."
Meskipun ia seorang pimpinan, tetapi sangat tidak enak datang terlambat ke kantor, sedang para karyawannya datang tepat waktu.
"Gue bukan bayi. Lo taruh aja makanannya di situ, biar gue makan sendiri," balas Claritta.
Azelf berdecak tak suka. "Dari tadi juga, nih, bubur sebelum ada gue udah lo anggurin ..."
"Masih panas, Pea!" kesal Claritta.
Azelf menyerah, lalu menaruh piring itu kembali ke atas nakas. Segera ia berdiri dari hadapan Claritta, waktunya ke kantor.
"Gue ke kantor kalau gitu, jangan lupa makan buburnya."
Perempuan itu menatapnya sinis. "Kenapa gue harus makan bubur? Gue bukan sakit kar'na susah nelan."
Rupanya, sang istri masih mau bertengkar dengannya, karena belum ingin ditinggal sendiri di kamar ini, begitulah pikir Azelf.
"Kalau makan makanan keras, entar sakit, nggak sengaja nyentuh lukanya," jelas Azelf.
"Yang luka, tuh, bibir, bukan gusi! Ini bibir di depan, tahu ... lagian, gue juga nggak ngunyah pake gigi depan!"
Azelf menghela napas. Masalah sepele saja akan jadi besar jika ia diskusikan bersama Claritta. Padahal tinggal menurut saja, apa susahnya, sih?
Kembali, Azelf duduk di depan perempuan itu. "Lo harus makan, gue nggak bisa ngawasin lo terus di sini. Jangan tahan gue ke kantor dengan cara ngajak berantem."
Perempuan itu membuka mata lebar, tak lupa mulut yang juga sedikit menganga. Di detik kemudian, Claritta melengos lalu tertawa kecil sambil menepuk jidat.
Cantik sekali, Azelf tak bisa melepas tatapannya dari sang istri. Sungguh, ia sangat senang karena perempuan itu tanpa sengaja mengiyakan apa yang Azelf katakan tadi. Mengajak bertengkar, agar ia tak cepat pergi ke kantor.
Senang sekali.
"Gue ngajak berantem lo cuma buat nahan lo ke kantor?" ulang Claritta, membuat Azelf mengangguk.
Memang benar begitu.
Perempuan itu kembali melengos, lalu terkekeh. "Lo gila?" tukasnya, dengan tatapan tajam, "mana mungkin gue mau nahan lo ke kantor? Justru, gue seneng banget kalau sendirian di sini tanpa lo!"
Azelf menghela napas. Rupanya, Claritta masih bisa mengelak, padahal sudah tertangkap basah. "Nggak usah bohong, akting lo jelek," katanya, lalu kembali berdiri dari duduk. "Lo nggak mau gue cium sebelum pergi?"
Bukannya perlakuan baik dari seorang istri yang ia dapatkan, Azelf malah terkena lemparan bantal oleh Claritta.
"Pergi lo! Pergi! Pergi!" usir perempuan itu.
Ah, rupanya saat sakit Claritta lebih galak. Padahal Azelf senang saat sang istri sakit, ia bisa memberikan perhatian lebih tanpa malu-malu.
Intinya, ia punya alasan pasti untuk bisa berada terus di samping Claritta.
"Ya, udah ... aku pamit." Azelf kemudian menuju pintu, ia mengalah pada keganasan sang istri.
Namun, baru beberapa langkah, sebuah bantal menghantam tengkuk. Azelf menoleh, sebegitu ingin Claritta ditemani olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My CEO is My Husband (END)
RomanceClaritta Ainsley wanita kabur dari rumah setelah dinikahkan oleh orang tuanya, dengan seorang laki-laki yang sangat ia benci. Azelf namanya. Sepuluh tahun dalam pelarian ke Canada, Claritta kembali ke Indonesia untuk menerima tawaran kerja dari sang...