"Lo gak ke German Matt?"
Liam mengerutkan dahinya, "Enggaklah, gue mau nemenin orang yang lagi galau aja."
Melodi meringis, "Sial, awas aja lo."
Kini mereka tengah berjalan keliling Pullman, mengamati tiap sudut kota. Karena tak terasa sebentar lagi mereka akan meninggalkan kota ini.
"Matt," panggil Melodi.
Liam yang berjalan di belakang wanita itu langsung menghentikan langkahnya.
"Gue rasa, gue halusinasi," ujar Melodi.
Liam menggelengkan kepalanya, walaupun Melodi tidak melihat itu.
"I feel you."
"Gue rasa kita gak halusinasi Mel," kata Liam sambil menarik ujung kemeja Melodi.
Wanita itu menoleh, menatap serius pria dihadapannya, "Maksud lo? Itu beneran Dimas? Kenapa bisa ada disini??" bisiknya.
Liam mengangkat kedua bahunya kompak, ia sedikit membantu Melodi agar menghampiri pria di sebrang sana yang tengah menatap mereka dengan tatapan sendu.
"Buat apa?" tanya Melodi kepada Liam.
"Kadang kita harus berani menghampiri lebih dulu, daripada terus menunggu."
Melodi menghela nafasnya, ia berjalan menyebrang untuk menghampiri seseorang di sebrang sana.
Mereka saling diam, membisu. Saling menatap satu sama lain. Tidak ada kata yang mereka ucapkan untuk membuka obrolan.
"Kita cari cafe dulu."
Setelah lama akhirnya Melodi membuka suara. Melihat Liam di sebrang sana yang menatapnya dengan tatapan datar. Liam pergi tanpa sepatah katapun.
Wanita itu terus berjalan diikuti pria di belakangnya.
Mencari sebuah tempat berbincang yang nyaman, karena pembicaraan mereka harus serius. Ini masalah hati, rasa, dan kelanjutan kisah mereka.
"Kenapa ada disini?" tanya Melodi ketika mereka sudah menemukan tempat untuk berbincang yang pas.
Dimas memalingkan wajahnya, tidak berani menjawab sambil menatap mata wanita itu.
"Seharusnya gue yang tanya."
"Lo yang tanya? Ini negara dimana gue belajar. Wajar kalo gue ada disini."
Pria itu mengangguk, jawaban Melodi memang benar adanya. Dia yang bingung harus jawab apa? Berlari? Menghilang? Mencoba pergi?
"Gue kangen Pullman, dan semua kenangannya. Disini, gue merasa bisa mengenang seseorang yang sangat istimewa di hidup gue, berbeda dengan di Indonesia, kenangannya ada di banyak kota, kalau ini kan cuma satu kota."
Melodi menghela nafas, teringat alasannya ke Pullman untuk pergi meninggalkan kenangan. Kenapa justru di Pullman ia membuat kenangan baru? Bagaimana bisa mengikhlaskan kalau masih sering bertemu?
"Lo ngehindarin gue ya?" tanya Melodi.
Dimas menggelengkan kepalanya, "Tidak sedikit pun, untuk apa?"
"Kenapa bohong? Belum lama ini lo selalu kirim voice note, dan bilang ada di kereta."
"Gue enggak bohong, itu bener ada di kereta. Kereta yang ada Pullman."
Melodi menatap lurus ke dalam mata Dimas. "Dim, kenapa ya dulu kita harus bertemu?"
"Kan lo yang nyari gue."
Benar kata Dimas, dulu Melodi yang lebih dulu mendekati Dimas dengan alasan akan membalas dendam Kakaknya.
"Maksudnya bukan itu, maksudnya kenapa Tuhan mempertemukan kita kalau Tuhan tidak mengizinkan kita bersama?"
Kenapa kita harus berakhir seperti ini? Tidak bisa memiliki satu sama lain. Aku mencintaimu, kamu mencintaiku.
Kita lupa bahwa kakak kita juga saling mencintai. Bahkan mereka yang lebih dulu mencintai.
Haruskah kita saling mengikhlaskan? Dan mengikuti semua skenario dari Tuhan?
Dimas mengangkat telapak tangannya, meminta seorang pelayan membawakan pesanannya, "Americano."
Melodi mengerutkan dahi, menatap Dimas dengan nanar. "Yakin? Itu pahit lho Dim."
"Mungkin ini ujian Dy." Entahlah, jawaban Dimas dan pertanyaan Melodi tidak nyambung sama sekali.
Melodi memutar bola matanya malas. "Matcha milk."
Pelayan itu mengangguk dan memberi tahu bahwa pesanan akan datang dalam beberapa menit.
"Kenapa gak pesan kopi?" tanya Dimas sambil menopang dagu.
"Gue butuh pemanis, liat kenyataan hidup udah terlalu pahit."
Dimas tertawa, "Bahkan kamu masih sempat membuat kalimat seperti itu."
"Sejak kapan lo ngomong bahasa baku?"
"Sejak aku mencintai seorang penulis."
"Siapa penulis?" tanya Melodi dengan nada sinis.
"Kamulah, waktu itu kamu bikin cerita tentang aku, di belakang buku pelajaran matematika pas SMA."
Wanita itu terdiam, sebentar mengingat. Saat SMA, ketika pelajaran Matematika tengah membosankan, ia memilih untuk mencoret-coret lembar halaman belakang bukunya.
Disana ia membuat cerita, bahwa ia sangat menyayangi seseorang bernama Dimas.
"Gila, kita lagi genting. Lo sempat-sempatnya flashback," protes Melodi. "Lagian, gue kan dokter, bukan penulis."
"Kalo ada orang Indonesia disini, kita dikira lagi berantem tau." Dimas mengerucutkan bibirnya.
"Emang lagi berantem," tegas Melodi. "btw, kita berdua kan orang Indonesia."
"Terus?"
"Tadi lo bilang kalo ada orang Indonesia, lah kita orang Indonesia."
"Maksudnya selain kita, maemunah."
Melodi mengembungkan pipinya kesal.
***
Halo teman-teman :")
Maaf baru sempat update T_T
Tugas kuliah bener-bener gak ngasih jeda aku buat nulis dan cari inspirasi lanjut cerita ):
Jangan dibayangin ya, tugasnya itu mengerikan. Semuanya peraktek, yang teori hanya beberapa. Dan satu tugas membutuhkan waktu pengerjaan paling cepat dua hari, itu juga hasilnya pas-pasan. Dan tiap saat selalu ada tugas :")Tuh jadi curhat wkwkwk
Yasudah.. Aku udah mau libur semester nih, aku usahain ya update :) maafin ya T_T
Kalau mau liat tugasku atau aku kuliah di jurusan apa yang bikin kalian penasaran kegiatan aku bener-bener padet ): sampe waktu tidur tuh kaya curi-curi ):
Follow ya ignya _Sitiamalia
Twitter @HeiRareTapi twitter isinya keluhan tugas semua wkwkwk
Satu lagi, selagi nunggu aku update, bisa baca cerpen, atau prosaku di blog
Heirare.blogspot.com
Terimakasih :)
Gomawo
Arigato
Hatur nuhun
Thank u
Jazakallah khayr
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodimas 2
Romansa[SEASON 2 dari Melodimas] Perjalanan semasa SMA sudah selesai, bagaimana hubungan Melodi dan Dimas setelah lulus? Akankah mereka sanggup melewati jarak yang sangat jauh? atau justru saling menyerah satu sama lain? Copyright©2018