Law melangkahkan kakinya ke gereja St. Peter begitu ia keluar dari hotel tempatnya beserta rombongan JSA menginap, dan terlepas dari tatapan 'selamat-sebentar-lagi-kau-menikah' dari teman-teman sekampusnya. Law merapatkan mantel yang dikenakannya ketika angin musim dingin Swedia berhembus. Walaupun begitu, ia menyukai suasana musim dingin di Eropa. Selang setengah jam kemudian, Law sudah berdiri di depan pintu gerbang gereja St. Peter, tempat ia akan melaksanakan pernikahan palsunya. Law menghela napas dan melangkah masuk.
Begitu Law membuka pintu gereja kuno itu, Law langsung menyukai suasana damai dan tenang di dalamnya. Suara sepatunya bergema ketika ia berjalan pelan menuju ke arah altar. Ia sangat menyukai dekorasi di dalam gereja itu. Membuatnya melupakan hal-hal keduniawian dan, terutama, masalah peliknya dengan keluarganya.
Mata hitam Law menangkap sebuah grand piano yang tampak sudah sangat berumur tapi masih terawat di salah satu sudut ruangan dekat altar.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Law menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang pendeta berdiri beberapa meter dari dirinya, dipisahkan oleh kursi-kursi panjang yang biasa diduduki orang-orang ketika sedang menjalankan misa. Law sendiri tidak tahu misa itu apa secara detail, ia bukan seorang yang religius.
"Ah, tidak. Saya hanya ingin mengecek keadaan tempat ini. Saya akan melangsungkan pernikahan di sini minggu ini," jawab Law.
Pendeta itu tersenyum mendengar jawaban Law. "Semoga pernikahanmu berjalan dengan lancar."
'Aku harap juga begitu,' batin Law. "Kalau begitu saya permisi. Saya sangat menyukai dekorasi gereja Anda," kata Law, berbalik ke arah pintu masuk setelah sebelumnya mengangguk singkat pada pendeta itu.
"Tuhan memberkatimu, Nak."
Law tidak membalas ucapan itu.…
Ia menghabiskan seharian itu berada di luar ruangan untuk menghirup udara Eropa yang segar, berusaha mengurangi beban berat yang membuat otaknya serasa ditekan-tekan selama berbulan-bulan ini. Setidaknya kalau rencana ini sukses, masalah itu akan sirna dari hidupnya untuk selamanya. Ia akan memiliki hidup tenang, dengan satu-satunya masalah yang dimilikinya adalah menjadi pianis terkenal secepat mungkin. Tapi itu toh juga bukan masalah besar. Dengan kejeniusannya, dua tahun adalah waktu yang cukup.
Ketika jam tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore, Law menghabiskan kopi panasnya dan segera kembali ke hotel. Pertunjukkannya akan dimulai pukul sembilan malam ini. Ia harus melemaskan jari-jarinya sebelum menyentuh pianonya.
Begitu ia sampai di hotel, ia langsung menuju ke ruang rehearsal dan memainkan pianonya, melepaskan semua emosinya melalui Eroica gubahan Beethoven. Lagu yang sarat emosi menurutnya. Dan ketika selesai, terdengar suara tepukan tangan tunggal yang bergema di seluruh ruangan. Law membuka matanya, merupakan kebiasaannya untuk bermain piano sambil memejamkan mata dan merasakan setiap aliran nadanya, dan mendapati Luffy duduk di salah satu kursi di ruangan itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Law dengan nada dingin seperti biasanya. Dan Luffy yang mengerucutkan bibirnya tanda tak senang dengan nada bicara Law adalah reaksi spontan yang selalu muncul setelahnya.
"Aku tadi kebetulan lewat dan mendengar kau bermain, jadi aku memutuskan untuk nonton. Jadi hentikan sikap kasarmu yang tidak berperike-Luffy-an begitu."
Law mengernyit. Ia sudah sering mendengar kata 'berperike-Luffy-an', tapi belum pernah menemukan arti yang pas untuk dicerna olehnya. Kadang memang istilah-istilah yang sering digunakan Luffy sama sekali tidak umum dan sulit dimengerti. Mungkin sebaiknya ia menganjurkan pada pemuda berambut hitam itu untuk menerbitkan kamus berisi kosakatanya sendiri.
"Bagaimana menurutmu tadi?" tanya Law, memutuskan untuk mencari penilaian daripada adu mulut dengan Luffy.
Luffy menegakkan duduknya dan tersenyum cerah, bagaikan anak kecil yang akan mendapat permen kesukaannya. Yah, walaupun anak kecil jaman sekarang sudah jarang yang senang hanya karena akan mendapat permen. Mereka lebih suka mendapat uang.
"Kau brilian!" seru Luffy, mengacungkan dua jempolnya pada Law. "Aku selalu ikut terhanyut kalau kau memainkan sebuah lagu, lagu apapun itu, dan pasti kau akan tampil sempurna malam ini!" pujinya tulus.
Law bangkit berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah pintu keluar sembari tersenyum tipis. Senyum yang sama sekali tidak kentara karena cara Law tersenyum hanya dengan mengendurkan otot-otot wajahnya yang selama ini tegang. Jadi sebenarnya dia tersenyum atau tidak pun sama saja. Tidak ada perubahan berarti.
Luffy tergesa-gesa turun dari bangku penonton dan menyusul Law. "Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan sedikitpun!" pujinya lagi begitu ia berhasil menjejeri Law. "Aku selalu suka permainanmu. Bisa membuat perasaanku tenang seperti kalau aku sedang tidur di pelukan ibu…" suara Luffy mengabur, membuat Law menoleh ke arahnya dan melihat ada sedikit ekspresi sedih di wajah pria itu.
Refleks, Law mengangkat tangannya hendak merangkul pemuda di sampingnya. Tapi ketika tangannya sudah begitu dekat dengan pundak Luffy, Law menyadari apa yang hendak dilakukannya dan langsung menurunkan tangannya lagi. Ia mengernyit. 'Yang tadi itu apa?'
"Ah, tapi secara garis besar kau oke! Aku tak sabar ingin bermain denganmu malam ini," kata Luffy lagi, nyengir lebar pada Law yang berjalan di sebelahnya dalam diam.
"Ya," tanggap Law. Pikirannya sibuk dengan hal lain.
Luffy mencibir. "Kau ini, sudah dipuji habis-habisan hanya itu yang keluar dari mulutmu," keluhnya. "Aku mau ke tempat Usopp dan Zoro dulu deh. Sampai nanti malam." Luffy melambai singkat padanya dan berbelok di koridor, meninggalkan Law yang kemudian berhenti berjalan secara mendadak. Law menolehkan kepalanya, memandang punggung Luffy yang makin lama makin jauh.
![](https://img.wattpad.com/cover/181298185-288-k531729.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
After Kiss Goodbye (REMAKE)
Fanfiction[ LawLu ] A simple kiss to make this story ends. After kiss, Goodbye.