Law's journal, July 20, 2010
Lima bulan berlalu sejak… yah, sejak saat itu. Aku bahkan tak tega untuk menulisnya di jurnalku. Atau mungkin aku takut sensasi itu akan kembali ketika aku menuliskannya? Sensasi di sekujur tubuhku ketika bibirku menyentuh bibirnya… Ah, sudahlah. Aku tak ingin berakhir dengan memainkan ‘Night's Eyes’ yang terasa sangat menyedihkan itu malam ini.
Aku tersenyum kecil ketika menulis judul lagu itu tadi. Ya, lagu yang langsung tercipta secara otomatis di otakku setelah insiden lima bulan lalu. Aku membuat partiturnya hanya dalam waktu kurang dari dua jam, dan setelah aku menyelesaikan rangkaian not baloknya, judul yang langsung terlintas di kepalaku adalah : His Eyes. Tapi aku tak mungkin menyerahkan judul itu ke Mr. Shanks. Harga diriku tidak mengizinkannya. Maka, setelah berpikir keras selama beberapa jam, Night't Eyes-lah yang kutetapkan menjadi judulnya. Lagu itu langsung terdengar di seantero JSA keesokan harinya, diputar silih berganti dengan Whither Grief-ku selama jam istirahat berlangsung, setelah aku menyerahkan lagu itu ke Mr. Shanks. Lagu yang sangat cocok dengan suasana hatiku selama lima bulan terakhir.
Lima bulan bukan waktu yang singkat, tapi lima bulan itu sama sekali tidak bisa membuatku menjawab semua pertanyaan yang bermunculan di benakku sejak hari itu. Oke, itu semua membuatku kesal, dan uring-uringan. Aku memang melampiaskannya dengan menciptakan banyak lagu sampai Mr. Shanks sudah punya folder sendiri untuk lagu-laguku, tapi seperti kata beliau beberapa hari lalu, "Law, tidak bisakah kau membuat lagu yang lebih ceria sedikit? Aku tahu kau agak emo, tapi nantinya orang-orang akan berpikir kalau kau adalah pianis patah hati, dimana lagu-lagunya hanya bisa dinikmati kalau kau sedang patah hati."
Aku nyaris mematahkan ujung pensilku. Aku sangat emosional akhir-akhir ini.
Dan bukan hanya ketidaksanggupanku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku sendiri yang membuatku kesal. Perlakuan Luffy padaku juga membuatku marah. Ia benar-benar menjaga jarak dariku setelah itu. Kami masih bercakap-cakap dan berkegiatan seperti biasa, seakan tidak terjadi apapun, tapi aku masih bisa merasakan kecanggungan yang sama yang dulu terjadi sebelum Ace datang. Bahkan lebih parah kali ini. Luffy jadi jarang tersenyum, jarang membuat onar, tatapannya nyaris selalu kosong, dia dan biolanya sudah jadi seperti kembar siam, intinya Luffy dalam lima bulan terakhir ini bukanlah Luffy yang kukenal sebelumnya. Yang membuatku lebih frustasi adalah, aku sama sekali tak tahu apa yang ada di pikirannya!
Akan lebih mudah bagi kami, menurutku, kalau ia mau sedikit lebih terbuka. Menceritakan apa yang mengganggunya. Sikapnya akhir-akhir ini begitu aneh, seakan ia ingin pergi, tapi juga tak ingin. Dan itu membuatku lebih bingung. Aku jadi tak tahu harus bagaimana memperlakukannya. Bahasa dramatis untuk itu adalah, dia membuatku menderita. Dan itu jadi kesalahan kesembilannya.
Luffy menciptakan semacam tameng pelindung di sekelilingnya, khusus untukku. Dia benar-benar menjaga jarak. Bahkan hanya berada dalam radius lima meter di dekatku saja dia sudah seperti mau muntah. Aku ingin meninjunya, dan menghajarnya sampai mati tiap kali itu terjadi, tapi aku tak pernah melakukannya karena aku tahu aku tak benar-benar menginginkan itu. Yang kuinginkan adalah kecanggungan ini berakhir. Aku butuh penjelasan. Penjelasan apapun, tentang apa yang terjadi di otaknya, dan benakku.
Well I didn't mean for this to go as far as it did. Tapi kenyataannya ini sudah berjalan terlalu jauh. Aku hanya ingin mendapatkan kesempatan untuk memperbaikinya. Hanya itu.…
❨ Law ❩
Law menutup jurnal hariannya dan memasang headset, mendengarkan lagu-lagu pop yang dulu sama sekali tak pernah diliriknya, melalui iPod-nya. Kebiasaannya juga banyak berubah. Ia merebahkan diri ke kasurnya ketika ponselnya berdering. Sambil menggerutu, ia melepas salah satu headset di telinganya, menggantikannya dengan ponselnya.
"Hm?"
"Kau sibuk, Law?" suara Eustass Kid, salah satu temannya sesama pianis. Orang yang Law baru tahu beberapa minggu lalu, kalau dia adalah gay tulen.
"Hmm…" gumam Law tak jelas.
"Bagus," tampaknya Kid mengartikannya sebagai sesuatu yang positif. "Kau masih ingat Ducati hitamku? Yang baru kubeli bulan lalu?"
"Hmm…"
"Aku berniat menjualnya." Kid terkekeh pelan.
Law mengangkat sebelah alis. Ia baru saja hendak menanyakan apa hubungannya hal itu dengan dirinya ketika Kid melanjutkan, "Dan kau adalah orang pertama yang terlintas di benakku sebagai pembeli. Aku tahu kau sudah naksir motor itu sejak pertama kali kau melihatnya. Jadi kau mau kan?"
Law tidak menjawab. Ia memang sudah naksir motor itu sejak pertama kali melihatnya, tapi sama sekali tak ada niatan untuk membelinya, walau Kid menawarkan. Tapi suatu hal lain yang melintas di otaknya membuatnya berpikir kalau membeli motor itu sekarang adalah ide yang sangat cemerlang. Dan dalam lima detik, ia sudah menjawab, "Oke. Tapi untuk sementara waktu, aku menitipkan mobilku di tempatmu."
Law tak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai dengan pemikiran briliannya. Semoga rencananya kali ini sukses. Dan semoga dugaan Law kalau ini adalah kesempatan yang bisa digunakannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Luffy benar.
![](https://img.wattpad.com/cover/181298185-288-k531729.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
After Kiss Goodbye (REMAKE)
Fanfiction[ LawLu ] A simple kiss to make this story ends. After kiss, Goodbye.