Bagian 3

1.1K 126 24
                                    

Law hadir di auditorium utama hari itu bersama mahasiswa tahun pertama lainnya untuk mengikuti audisi. Ia sama sekali tidak menghiraukan mereka, walaupun beberapa gadis yang ada di dekatnya tak pernah berhenti mencuri pandang ke arahnya disertai dengan senyuman-senyuman menggoda yang menurutnya sangat menganggu. Baik di Jerman maupun di New York ternyata sama saja.
Mata hitamnya menatap lurus ke panggung auditorium, mengamati seorang pemuda berambut hitam yang Law ketahui memiliki codet dibawah matanya, sedang memainkan Canon menggunakan biolanya dengan penuh penghayatan. Law mengakui permainan orang itu sangat bagus. Law belum pernah melihatnya di JSA sebelumnya, tapi dilihat dari kumpulan gadis di depannya yang terus memandangnya dengan tatapan memuja, Law rasa ia cukup populer.
Pemuda itu mengakhiri permainannya dan membungkuk ke arah para dosen yang bertindak sebagai juri, dan turun dari panggung. Usopp dan Sanji yang ternyata ada di dekat panggung langsung menyapanya dengan senyuman ramahnya. Law mengangkat alis, tidak menyangka mereka mengenalnya.
"Trafalgar Law."
Namanya dipanggil. Law bangkit dari duduknya dan langsung naik ke panggung, mendudukkan diri di hadapan grand piano yang ada di sana. Ia sama sekali tidak merasa gugup.
"Hm, Trafalgar ya..." kata Mr. Shanks, dosennya di kelas piano. "Murid tahun pertama, bergabung dengan JSA empat bulan lalu. Sangat handal di bidangnya. Termasuk dalam kelas jenius," ia membacakan profil Law. "Ayo kita lihat apa yang kau punya."
Sebelumnya Law berniat memainkan Fur Elise untuk audisinya, tapi entah kenapa, setelah melihat permainan biola pemuda dengan codet dibawah matanya tadi, keinginan untuk memainkan Canon juga terbersit di benaknya. Law menarik napas pelan dan langsung menekan tuts-tuts piano itu, memainkan Canon-nya. Ia tidak begitu ingat lagunya, tapi Law memainkan pianonya sambil memejamkan mata, mengingat setiap nada yang keluar dari biola pemuda tadi, dan menggubahnya dengan pianonya. Itu sangat berhasil. Ia sama sekali tidak kehilangan detail-detail kecilnya.
Law mengakhiri permainannya dengan sangat sempurna. Ia membuka mata, menoleh ke arah Mr. Shanks dan kolega-koleganya dan mengangguk singkat.
Mr. Shanks mengangkat alis. "Itu tidak seperti Canon yang kuingat," komentarnya.
Law tidak membalas komentar itu. Ia sangat tahu Canon-nya tadi benar-benar berbeda.
"Hm," Mr. Shanks meneruskan. "Canon-mu yang tadi itu membuatku merasa kau seolah-olah mengiringi permainan biola peserta sebelum ini."
'Memang begitulah yang terjadi,' pikir Law, sedikit geli.
"Tapi kau membawakannya dengan sangat luar biasa! Selamat, Trafalgar. Kau ikut ke Swedia," kata Mr. Shanks, tersenyum lebar.
Law bangkit berdiri, membungkuk singkat pada dosennya itu dan langsung keluar dari auditorium. 'Sama sekali tidak sulit'.

Sehari sebelum keberangkatannya ke Swedia, Law sedang mengemasi barang-barang yang akan dibawanya. Ia sedikit kaget setelah menerima jadwal charity concert dan mendapati bahwa konsernya sendiri masih diadakan dua minggu lagi setelah keberangkatan. Ia sempat bertanya-tanya kenapa harus berangkat dua minggu sebelum hari H. New York-Swedia tidak sejauh itu. Tapi ia mendapatkan jawabannya begitu ia bertanya ke lobi. JSA akan berangkat ke Swedia naik kapal pesiar, Star Cruiser. Kapal mewah yang penumpangnya adalah kalangan menengah ke atas. JSA cukup kaya untuk itu. Tapi pertanyaan kembali muncul di benak Law. Kenapa harus naik kapal kalau ada yang lebih cepat?
"Divisi Filmografi ingin membuat film dokumenter tentang charity concert ini, lengkap dengan perjalanannya. Dan menurut mereka kalau naik pesawat, itu sama sekali tidak berkesan. Jadi mereka sengaja meminta agar perjalanan ini dilakukan dengan kapal," Usopp menerangkan, dia adalah mahasiswa Filmografi.
Law tidak mengomentari penjelasan itu, tapi bukan JSA namanya kalau tidak menghambur-hamburkan uang. Untungnya Law mengajukan aplikasi untuk progam beasiswa ketika mendaftar di sini, jadi dia bebas biaya apapun. Walaupun ia sangat kaya raya, dan itu bukan uang ayahnya. Kakeknya, mewariskan sejumlah besar uang padanya ketika beliau wafat dengan pesan 'gunakan uang ini untuk meraih cita-citamu', pesan yang ia pegang sampai sekarang. Ya, Law masih kaya raya karena hartanya sama sekali tidak tersentuh oleh ayahnya, tapi ia tetap tidak ingin menghabiskan uang itu begitu saja. Hidupnya masih panjang sebelum ia jadi pianis sukses dan punya penghasilan sendiri.
Law selesai mengepak dan merebahkan diri di tempat tidurnya. Sudah sebulan ini Law pindah-pindah apartemen melulu, dan sekarang ia sengaja tidak memakai ponsel. Ia sudah lelah menjadi buron keluarganya sendiri. Seminggu lalu ia nyaris di seret pulang oleh segerombolan pria yang memakai setelan hitam-hitam, suruhan ayahnya. Tapi untungnya dia bisa meloloskan diri dari mereka.
Law mengurut keningnya, frustasi. Ia kehabisan ide. Ia tak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan terus melarikan diri. Ia harus berbuat sesuatu. Tapi satu-satunya cara yang terpikir olehnya hanya mengganti kewarganegaraannya. Ayahnya takkan mengakuinya sebagai anak lagi kalau ia sudah resmi menjadi warga negara Amerika Serikat. Sayangnya, itu tidak semudah kelihatannya. Birokrasinya sangat rumit. Dan Law benci birokrasi. Ia sendiri sangat muak ketika ia mengurus visa dan paspornya.
Sebenarnya ada cara yang lebih mudah: menikah dengan warga negara Amerika. Tapi yang benar saja, ia belum mau menikah di usia segini. Lagipula, bagaimana kalau ternyata setelah menikah, ayahnya merestuinya dan bukannya membuangnya dari keluarga Roger, ia malah menyambutnya dengan senang hati? Masalahnya akan jadi lain. Ia tidak mau ambil resiko.
Law menghela napas dan memutuskan untuk tidur. Masalah ini akan dipikirkannya nanti setelah charity concert.

After Kiss Goodbye (REMAKE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang