Bagian 2

1.7K 142 16
                                    

Law's journal, January 11, 2009

Aku tidak punya banyak hal yang kuanggap berharga dalam hidupku. Aku tak punya keluarga yang kucintai, aku tidak punya teman yang kusayangi dan bahkan hidupku tidak berarti banyak untukku. Tapi itu bukan berarti 'semua' hal sama sekali tidak berharga bagiku. Hanya dia… dia yang bisa membuatku benar-benar memahami dan merasakan makna kalimat, 'we realize something precious after we lose it'. Hanya sederetan kata-kata sederhana, namun butuh dua tahun bagiku untuk benar-benar mengerti artinya. Dua tahun bersamanya.
Semua itu berawal ketika usiaku mencapai dua puluh tiga tahun, dan aku memutuskan untuk pergi dari rumah orang tuaku, kalau mereka masih bisa disebut orang tua. Aku tidak meninggalkan rumah tanpa alasan. Dan yang menjadi alasan utama adalah, aku muak. Aku muak dianggap tidak ada di tempat yang disebut rumah itu. Dan kalaupun mereka menyadari keberadaanku, mereka hanya akan memperlakukanku seakan aku ini lebih rendah dari manusia.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk membuang keluargaku sebelum mereka melakukannya lebih dulu. Sekarang, tak ada lagi Gol D. Law.

Ponsel Law berdering. Ia meliriknya sekilas, tapi terlalu malas mendekatkannya ke telinga, sehingga ia hanya menekan tombol loudspeaker-nya saja.
"Law?" suara yang ia kenali sebagai suara adik tirinya, Ace.
"Hm," jawabnya malas, tak peduli Ace mendengarnya atau tidak. Ia masih sibuk menekuni sederetan not-not balok di hadapannya.
"Law, kau benar-benar yakin dengan apa yang kau lakukan? Ibu mengkhawatirkanmu," kata Ace.
Law sama sekali tidak menanggapi, melainkan menambahkan beberapa nada lagi di kertasnya.
"Law," panggil Ace, mengharapkan respon yang lebih baik dari kakaknya. "Kau tahu? Ayah sebenarnya menyayangimu, ia hanya tidak tahu bagaimana menunjukkannya…"
Law berdecak kesal. "Sudahlah. Berhenti membujukku untuk pulang karena aku takkan pernah mau. Biarkan aku menjalani sisa hidupku dengan tenang tanpa bayang-bayang Roger sialan itu…"
"Law," tegur Ace, tidak senang dengan perkataan Law. "Tapi kau tidak perlu bersikap kekanakkan dengan meninggalkan Jerman segala kan? New York terlalu jauh, Law …"
"Dan apa pedulimu?" sergah Law, sekarang memelototi ponselnya seolah-olah ponselnya adalah jelmaan adiknya. "Hidupku tadinya lumayan baik-baik saja. Kau anak emas Tuan Gol D. Roger yang terhormat, hanya kau yang dipandangnya, itu sudah cukup buatku. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Lalu kau dan mulut besarmu mengacaukan segalanya. Kenapa kau bilang pada Tuan Roger itu aku bercita-cita jadi pianis, hah?" tuntut Law, mengeluarkan segala unek-uneknya.
"Law itu…"
"Kalau kau ingin aku pergi dari rumah, bilang saja baik-baik. Aku akan melakukannya dengan senang hati. Aku takkan menghalangi jalanmu menjadi pewaris Keluarga Roger."
"Law!" bentak Ace. "Aku tidak pernah menginginkanmu pergi dari rumah. Kau adalah kakakku Law."
Law mencibir. "Sudah terlambat mengatakan itu."
Ace menghela napas perlahan. "Ayah hanya ingin masa depanmu terjamin, Law. Memangnya apa yang bisa kau dapat dengan menjadi seorang pianis seperti kenginanmu?"
"Masa depanku bukan urusan kalian lagi."
Ace menambahkan, "Kau sudah hampir lima bulan di sana sekarang. Dan lihat apa yang kau dapat? Aku belum dengar satu kemajuan pun darimu."
"Sama seperti masa depanku, hidupku di sini juga bukan urusan kalian lagi."
"Law, k—" Ace hendak mengatakan sesuatu, tapi tampaknya ponselnya sudah direbut lebih dulu darinya karena detik berikutnya yang bicara adalah orang lain. "Pulang, sekarang. Tinggalkan mimpimu menjadi seorang pianis yang tidak berguna itu. Aku tidak menghendaki anakku jadi banci."
Law tahu yang berbicara sekarang adalah ayahnya. "Sayangnya aku bukan anakmu lagi," balas Law, susah payah menahan emosinya, tidak terima ayahnya sendiri menghina cita-citanya.
"Aku bilang, pulang sekarang, anak sialan. Jangan membantahku."
Kedua tangan Law terkepal erat di pangkuannya. "Sayangnya, aku tidak akan pernah mematuhi keinginanmu."
Terdengar ayahnya menggeram marah. "Kau dididik untuk menjadi pewaris keluarga Gol D.! Dan kau tak akan pernah bisa mengingkarinya! Darah Gol D. mengalir di setiap pembuluh darahmu dan menjadi pianis banci tidak akan pernah menghapusnya. Aku akan menyeretmu pulang ke Jerman kalau perlu. Camkan itu!!"
Law mendengus, dan langsung mematikan ponselnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menetralkan emosinya. Ia tak mengerti kenapa sekarang, setelah ia benar-benar berniat untuk membuang keluarganya, mereka malah memintanya untuk kembali. Law mengurut keningnya, mood-nya untuk menulis lagu sudah lenyap. Ia menyeringai ketika menyadari alasannya. Keluarga Gol D. adalah keluarga terkemuka di seluruh Eropa, pemilik dari Gold Corporation yang merajai tangga perekonomian Eropa. Apa kata orang-orang kalau tahu anak sulung dari keluarga beradab itu kabur dari rumah? Law tertawa pelan. Tentunya ayahnya menginginkan kepulangan bukan karena dia benar-benar menyayangi Law.
'Aku akan menyeretmu pulang ke Jerman kalau perlu. Camkan itu.'
"Shit…" keluh Law ketika teringat ancaman ayah nya. Itu bukan ancaman kosong. Ia tahu itu. Ayah nya selalu mengatakan itu padanya berulang kali. Walaupun ia mengganti nomor ponselnya dan pindah rumah setiap hari, dan memang itulah yang dilakukanya selama ini, ia yakin ayah nya masih bisa menemukannya. Jaringan ayah nya terlalu luas. Tinggal menunggu waktu. Sekarang saja Ace sudah bisa melacak nomer ponsel barunya.
Tidak cukup hanya Law yang membuang keluarganya. Ia harus membuat keluarganya membuangnya juga. Tapi bagaimana?

Law bangun pagi-pagi keesokan harinya dan langsung berangkat ke Juilliard School of Art, sekolah seni bergengsi yang menjadi alasan kenapa dia memilih New York sebagai tempat minggatnya. Setidaknya kalau ia ingin benar-benar menjadi seorang pianis, ia harus memperoleh pendidikan yang meyakinkan untuk itu. Ia tidak ingin setengah-setengah.
Pikirannya kembali melayang ke percakapan dengan ayahnya semalam. Ia harus membuat ayahnya benar-benar muak padanya, dan minggat dari rumah rupanya tidak cukup. Ia sudah memiliki rencana sebenarnya, tapi itu terlalu rumit, dan ia masih memikirkan cara untuk mempermudahnya.
"Trafalgar!"
Seseorang memanggilnya begitu ia memasuki halaman depan JSA. Law menoleh. Sanji, Usopp dan Roronoa Zoro. Law memang merahasiakan nama marganya, untuk saat ini ia menggunakan marga mendiang ibunya ‘Trafalgar’, jadi tidak heran semua orang di sini memanggilnya dengan nama itu. Mengatakan 'aku Gol D. Law' sama saja membuat ia diseret pulang lebih cepat.
Law berhenti, menuggu Sanji, Usopp dan Zoro menghampirinya. Memang tidak banyak orang Eropa di JSA, tetapi Law bersyukur ia bukan satu-satunya. Walaupun ia memang tidak begitu dekat dengan mereka.
"Tumben kau datang pagi-pagi?" sapa Usopp, dengan cengiran lebarnya. "Tapi memang sebaiknya begitu, aku ada berita bagus."
"Hm?"
Sanji menarik keluar selembar pamflet dari dalam tasnya dan menyodorkannya pada Law. Law membacanya.
"JSA akan mengadakan charity concert di Swedia bulan depan! Dan akan diadakan audisi untuk mahasiswa tahun pertama yang ingin tampil di acara itu. Kau ikut kan, Law?" tanya Sanji.
Law menatap Sanji, Usopp dan Zoro bergantian. Tentu saja dia ikut. Ini kesempatannya untuk melakukan debut. Mungkin kalau ia sukses dalam charity concert ini, ayahnya akan berhenti menggerocoki hidupnya. Walau ia tahu itu hanya dugaan kosong. Ayahnya bukan tipe orang yang gampang menyerah.

Bersambung

P.S: Mohon maaf, karena menyesuaikan cerita, disini Law saya buat jadi anaknya Roger, alias Kakak tiri Ace, mereka beda Ibu, dan marganya sementara pakai Gol D. dulu, aneh sih kelihatannya 😭
Zoro sama Usopp juga saya buat jadi orang Eropa disini, faktanya Zoro asal Jepang dan Usopp asal Afrika maafkan aku :')
Sabar, Luffy baru muncul di next chapter. Shishihsi XD
Segini dulu deh, semoga suka 😌

After Kiss Goodbye (REMAKE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang