Makhluk yang menakutkan itu datang. Aku tidak bisa tidur karena gangguannya.
Ya, aku di sini, meringkuk di balik selimut dengan penuh ketakutan saat hujan turun. Suara-suara ribut di luar sana, menggelegar marah bersama kilat yang sangat menyilaukan, menerangi malam hanya sekilas lewat.
Bagaikan telur di ujung tanduk. Seperti itulah keadaan yang kualami sekarang.
"Aaah!" teriakku saat petir menyambar. Petir seakan mengamuk padaku karena aku sudah membuatnya marah. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menghentikan kemarahannya.
Mati lampu tiba-tiba, menambah ketegangan. Sehingga, aku takut untuk keluar dari tempat persembunyian.
Dalam keadaan seperti ini, aku mengingat Papa. Aku ingin di dekat Papa karena Papa yang akan selalu melindungiku saat terjadi hujan seperti ini.
Tapi, itu mustahil. Selamanya, Papa tidak akan datang untuk menemuiku. Ia telah menghadap Tuhan sejak 10 tahun yang lalu.
Papa, tolong aku. Aku nggak sanggup berlindung seorang diri.Aku membatin dalam hati hingga terdengar pintu berderit keras.
Siapa itu? Ada seseorang yang masuk ke kamarku. Ia membawa sebuah lilin besar yang menyala terang. Cahaya lilin tersebut menerangi seluruh sudut tempat itu.
Kegelapan terusir paksa oleh cahaya. Aku mengintip di balik selimut. Seorang wanita cantik berambut hitam panjang yang dikuncir satu seperti ekor kuda, duduk di pinggir ranjang yang kutempati. Ia menaruh lilin yang melekat di piring melanin tadi di meja.
"Aila," panggil wanita itu.
Aku melongokkan kepala keluar dari selimut. "Mama ya?""Iya. Mama udah pulang."
"Aaah. Syukurlah."
Helaan napas lega keluar dari mulutku. Untung sekali Mama sudah pulang pada waktu yang tepat.
"Paman Toto jagain kamu seharian ini, kan?" tanya Mama yang mengelus pucuk rambutku dengan pelan.
"Ya. Sekarang dia udah tidur," jawabku yang menundukkan kepala.
"Oh, baguslah. Ai, Maafkan Mama ya karena Mama nggak bisa menjagamu karena Mama harus bekerja."
"Iya, Ma. Nggak apa-apa kok. Aku maklum kalau Mama sibuk."
"Terima kasih. Mama juga harap kamu bisa sembuh dari phobia-mu itu."
"Ya, Ma. Tapi--"
Perkataanku terputus karena terhambat suara petir. Telingaku menjadi sakit, lalu menjerit kencang.
"Aaah!"
Aku menggila seraya menutup telingaku dengan dua tangan. Suara petir tak henti-hentinya menyerang indera pendengaranku. Mama iba, dengan cepat memelukku.
Badai angin semakin ganas di luar sana. Aku tidak tahu bagaimana keadaan kota saat badai angin yang bercampur hujan ini melandanya. Apakah mungkin memporak-porakdakan kota hingga rata dengan tanah?
Tidak.
Aku tidak berani membayangkannya. Phobia terhadap hujan ini benar-benar menciutkan nyaliku.
"Tenanglah, Aila. Kamu nggak usah takut sama hujan ini."
"Mama, hentikan hujan ini. Aku mohon."
"Mama bukan Tuhan yang bisa menghentikan hujan ini, sayang."
"Mama, aku mohon."
Aku memelas sembari memeluk Mama dengan erat. Suara kemarahan itu masih terdengar olehku. Aku tidak tahan lagi karena terlampau takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)
Teen FictionDiterbitkan oleh At Press Sumatera Sesuatu menghantam atap, membuat suasana semakin menegangkan. Aku hendak berlari menuju rumah, tetapi tiba-tiba muncul suara yang mencegatku. "Hei, tunggu!" Seorang laki-laki berpakaian serba hitam dan memegang p...