"Ma-Maaf, karena aku langsung memelukmu, Rinan."
Rinan hanya tertawa kecil.
"Hehehe. Itu nggak masalah."
"Kamu nggak marah?"
"Nggak. Aku tahu kamu butuh perlindungan, makanya aku datang menemuimu sekarang."
"Gitu ya. Tapi--"
Sesaat aku menghentikan perkataanku karena merasakan adanya keganjilan. Rinan bengong.
"Tapi, apa?"
"Gimana caranya kamu masuk ke kamarku? Kamu tahu, 'kan kamarku ini letaknya di lantai dua."
Sunyi.
Rinan terdiam. Korneanya menatapku dengan serius. Aku penasaran bagaimana caranya, ia bisa muncul di kamar ini secara tiba-tiba. Padahal aku tidak mempunyai tangga ataupun sesuatu yang bisa menjadi tanjakan untuk naik ke lantai dua.
"Nggak usah nanya darimana aku datang, yang penting aku bisa datang untuk ketemu kamu lagi," sahut Rinan dengan nada yang tegas. "Aku tahu kamu kesepian. Kamu butuh aku untuk menemanimu. Tebakanku, betul, kan?"
Aku terperangah mendengar jawabannya itu. "Itu betul."
"Udah kukira gitu."
Akhirnya senyuman manis terukir di wajahnya. Ia memegang kedua bahuku. Menatap mataku lekat-lekat.
"Aku mau pergi keluar lagi. Apa kamu mau ikut sama aku?"
Untuk kedua kalinya, ia mengajakku pergi. Aku terdiam seraya menggeleng cepat.
"Jangan bilang kamu nolak aku lagi," Rinan berwajah kusut.
"Maaf, aku nggak bisa," aku juga berwajah kusut.
"Apa itu karena larangan Mamamu?"
"Iya. Tapi, kamu tahu darimana?"
"Dari ... Kakekku."
"Kok bisa?"
"Nggak usah nanya lagi."
"Tapi."
"Aaah, terserahlah."
Rinan mendesah pelan. Ia menjauh dariku. Berbalik memunggungiku. Aku merasa bersalah karena membuatnya kecewa.
Suara petir masih terdengar memecahkan keheningan yang sempat melanda kamar ini selama beberapa menit. Kami terdiam, tetap bertahan di posisi masing-masing.
Karena tidak mau membuat Rinan kecewa, aku terpaksa mengabulkan ajakan Rinan.
"Rinan," panggilku dengan suara yang lembut. "Aku mau ikut sama kamu."
Mendengar itu, Rinan menoleh. Tatapannya tajam, sungguh menusuk hatiku.
"Kamu marah sama aku ya?" tanyaku bergetar takut.
Rinan menghelakan napas seraya memanggul payung di bahu kanannya. "Aaah, sedikit."
"Kalau gitu, maafin aku."
"Kamu nggak perlu minta maaf."
"Kenapa?"
"Kamu nggak salah."
Aku tersenyum karena mendengarkan perkataannya. Syukurlah, ia tidak marah padaku lagi. Tapi, Rinan masih menatapku tajam.
"Kelihatannya kamu terpaksa pergi sama aku, Ai," sahut Rinan yang benar-benar tepat.
"Eh? Aku nggak terpaksa kok," bantahku.
"Aku nggak percaya."
"Beneran. Aku mau ikut sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)
Teen FictionDiterbitkan oleh At Press Sumatera Sesuatu menghantam atap, membuat suasana semakin menegangkan. Aku hendak berlari menuju rumah, tetapi tiba-tiba muncul suara yang mencegatku. "Hei, tunggu!" Seorang laki-laki berpakaian serba hitam dan memegang p...