Kuakui Rinan lebih baik daripada Rendi. Meskipun Rinan lumpuh, tapi ia bisa menyempatkan dirinya untuk menyiapkan sarapan. Lalu, dari Rinan, aku mengetahui segala hal tentang keluarganya.
Sejak lahir, Rinan dan Rendi terpisah karena keluarga dari Ayah mereka, meminta Rendi untuk diasuh oleh Nenek -- Ibu dari Ayah si kembar. Ibu si kembar, tidak tahu kalau anaknya kembar, hanya mengetahui Rinan yang diasuhnya.
Bunda Frida, Ibu si kembar, baru mengetahui Rendi saat menjenguk Rinan yang dirawat di rumah sakit.
Begitulah, cerita tentang Rinan dan Rendi. Aku bersyukur bisa bertemu dengan mereka, yang telah memberikan warna di kehidupanku yang kelam.
Mengenai gadis misterius berpakaian biru itu, yang telah membuat Rinan koma, aku tidak mengetahui secara pasti siapa dia. Rinan sendiri juga tidak mengetahui nama gadis itu.
Pemikiranku buyar saat mendengar bunyi pesan yang masuk. Pesan balasan Whatapps dari Rinan.
Kamu mau pindah kuliah? Beneran, Ai?
Aku mengetik balasan untuknya.
Iya, Nan.
Berarti kita jauhan lagi.
Iya.
Nggak apa. Aku akan ikut pindah juga ke sana. 'Kan, ada Ibuku, Bunda Frida.
Benar juga.
Kita nggak akan terpisahkan lagi.
Iya.
Kami saling chatting di Whatapps. Perasaanku lega karena hiburan dari Rinan.
***
Sore itu, aku dan Mama pulang ke Pasir Pengaraian. Perjalanan dari Pekanbaru ke sana, membutuhkan waktu sekitar enam jam. Tentunya, kami tiba di Pasir Pengaraian pada saat malam tiba.
Di sepanjang perjalanan nonstop, kami membisu. Mama lebih fokus menyetir, sedangkan aku sibuk mengamati pemandangan malam lewat jendela yang tertutup.
Dua puluh menit sekali, aku mendapatkan pesan Whatapps dari Rinan yang selalu menanyakan keadaan kami di sepanjang perjalanan. Aku merasa terhibur karena perhatian Rinan yang sangat besar terhadapku.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, kami tiba juga di rumah. Paman Toto langsung menyambut kedatangan kami dengan senyumnya yang memikat jiwa.
"Selamat datang, Nyonya Linda dan Nona Aila," Paman Toto berdiri di dekat mobil yang terparkir di garasi.
"Paman," aku berlari menghampiri Paman Toto. "Aku kangen banget sama Paman."
"Wah, apa itu benar, Non?"
"Benar, Paman."
"Saya terharu mendengarnya."
Paman Toto menggenggam tanganku. Aku tersenyum.
"Halo, dua orang di sana. Bantuin nih angkatin barang-barang ini," titah Mama yang menunjuk ke bagasi mobil.
"Baiklah, Nyonya," ucap Paman Toto yang beranjak menuju ke bagasi mobil.
Pria berpakaian menyerupai butler itu, mengeluarkan barang-barang yang kami bawa. Aku membantu Paman Toto untuk membawa koperku sendiri.
Kami masuk ke rumah. Karena mengantuk berat, kami langsung pergi ke kamar.
Begitu tiba di kamar, aku meletakkan koper di dekat ranjang. Aku melompat ke kasur, merebahkan badan yang terasa letih ke kasur yang empuk.
Sudah lama sekali, aku meninggalkan kamar ini. Kamar yang menjadi tempat kurungan sejak Papa meninggalkan aku. Hidupku monoton, tanpa ada warna keceriaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)
Teen FictionDiterbitkan oleh At Press Sumatera Sesuatu menghantam atap, membuat suasana semakin menegangkan. Aku hendak berlari menuju rumah, tetapi tiba-tiba muncul suara yang mencegatku. "Hei, tunggu!" Seorang laki-laki berpakaian serba hitam dan memegang p...