14. Bertunangan

3 0 0
                                    

Aku terdiam seraya memperhatikan dua wajah kembar itu. Rendi yang bermuka suram, sedangkan Rinan yang bermuka cerah. Jika aku menerima lamaran itu, berarti aku menyakiti Rendi. Tapi, sebaliknya jika aku menolak lamaran itu, berarti aku juga menyakiti Rinan.

Ya Tuhan, dua keputusan ini menjepit diriku. Aku tidak tahu mengapa aku ragu seperti ini, hanya karena teringat mimpi itu. Tentang Oma Thalita yang memberitahu kalau Rendi juga menyimpan perasaan cinta untukku. Namun, di sisi lain, ada Kanaya yang memintaku untuk menerima Rinan.

"Aku senang karena kalian bersatu. Kuharap kalian nggak akan terpisahkan hanya gara-gara mengorbankan perasaan demi kebahagiaan Papa Rendi. Jadi, kumohon, menikahlah sampai kalian bertemu aku lagi."

Perkataan Kanaya terngiang-ngiang di telingaku. Aku harus memutuskan jawaban yang tepat.

Semua orang menatapku dengan harapan besar, terutama Rinan yang telah berjasa besar bagiku. Hanya Rinan, yang terbaik untukku.

"Aku ... Menerima lamaran ini," kataku seraya tersenyum.

"Alhamdulillah," ucap kedua ibu itu kompak.

"Akhirnya," ujar Rinan yang tertawa senang.

"Aaah," desah Rendi yang tidak bersemangat.

Ruang tamu yang menjadi saksi lamaran ini, memberikan suasana tidak menentu di hatiku. Mama dengan senyum yang selalu melekat di wajah cantiknya, mengumumkan sesuatu yang penting.

"Syukurlah, karena Aila menerima lamaran ini. Secepatnya kita mengadakan pesta pertunangan buat Aila dan Rinan."

"Aku setuju, Lin. Gimana sama kamu, Nan?"

"Terserah Mama aja."

"Oke. Kita tentuin tanggalnya sekarang."

Mama dan Bunda Frida berdiskusi. Rinan memberi isyarat padaku dengan mengacungkan jempol menuju ke luar. Aku mengangguk.

"Ma, Bunda, aku sama Rinan keluar bentar ya."

"Iya, sayang."

Dua Ibuku menjawab bersamaan. Aku tersenyum. Rinan menungguku di mulut pintu. Rendi juga ikut bersama kami.

"Ada yang pengen aku bilang sama kalian," sahut Rendi yang berjalan melewati kami.

"Apa itu, Ren?" tanyaku seraya mengikuti Rendi dari belakang.

Rendi tidak menjawab. Rinan terdiam, juga tidak memberitahuku. Kami bertiga berhenti di antara dua mobil yang terparkir.

Aku dan Rinan berhadapan dengan Rendi. Laki-laki itu bersikap tenang sambil memandang wajah kami secara bergiliran.

"Selamat karena kalian akan tunangan," tukas Rendi yang tersenyum simpul. "Aku nggak nyangka kalian bisa bersatu juga setelah lama terpisah. Kisah cinta kalian ini unik. Sementara aku, nggak pernah ngalamin cinta sejati kayak gini. Pengen rasanya, aku dicintai kayak Rinan yang dicintai Aila."

Tertegun dengan perkataan tulus dari Rendi, mengetuk hatiku yang bisa merasakan gejolak batinnya. Aku tahu arti dari perkataannya itu menunjukkan bahwa ia memiliki harapan yang sama seperti Rinan. Ingin menikah dengan gadis yang dicintainya.
Sebagai saudara kembar, tentu mereka memiliki ikatan batin yang kuat. Rinan ikut merasakan apa yang dirasakan Rendi, meskipun fakta yang terjadi ini akan menyakiti Rendi.

"Maaf, jika aku ngomong aneh kayak gini. Tapi, jujur, aku juga mencintai Aila sejak Aila tinggal denganku," ungkap Rendi yang bertampang suram. "Terus saat Aila ulang tahun, diam-diam aku ngasih coklat itu buat dia. Aku berharap Aila tau perasaanku yang sesungguhnya."

Kami terkesiap karena pengakuan Rendi. Tatapan sayu Rendi tertuju padaku. Aku terperanjat, saat bulir-bulir permata kecil jatuh dari dua pipinya. Laki-laki yang selalu bersikap dingin itu, akhirnya menangis. Menunjukkan perasaan sakit yang mungkin ditanggung di jiwanya.

Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang