7. Kencan dengan Rinan

7 1 0
                                    

Aku terpaku saat mendengar cerita dari Rinan. Aria bersama kami.

"Vygo udah ditangkap polisi sekarang," kata Rinan yang melipat tangan di meja. "Dia ngaku disuruh Ayahnya untuk membunuh semua orang yang berkaitan dengan keluarga Pak Adri. Padahal Ayahnya itu udah meninggal. Polisi menduga dia kelainan jiwa karena depresi berat."

"Oh. Pantas dia mirip banget sama pelaku yang udah bunuh Papaku waktu aku berumur 8 tahun," ungkapku yang baru saja menghabiskan teh es.

"Pelaku yang udah bunuh Papamu? Maksudmu siapa, Ai?" tanya Aria yang mengaduk-aduk jus buah Naga yang tinggal separuh.

"Ya. Dia almarhum ayah Vygo itu."

"Eh? Beneran?"

"Iya, Aria."

"Kalau aku, udah tahu dari dulu."

Dengan santai, Rinan membenarkan letak duduknya. Ia bersandar di kursi plastik itu. Memandang orang-orang yang sedang makan di kantin rumah sakit itu. Suasana cukup ribut karena suara orang-orang yang saling berbicara akrab.

Dari perkataan Rinan barusan, mengandung misteri yang membuatku penasaran. Memberanikan diriku untuk bertanya lebih lanjut dengannya.

"Kamu udah tahu soal Papaku yang dibunuh? Benar itu, Nan?"

Rinan melirikku. Ia tersenyum.

"Itu benar."

"Kok kamu bisa tahu?"

"Dari Kakekku."

"Oh. Kakekmu."

"Memangnya Kakekmu pernah ngelihat kejadian itu."

"Iya."

Sumringah yang ringan, tertampil di wajah Rinan. Aku terpaku, merasa Rinan masih menyembunyikan suatu rahasia yang belum diketahui. Aku penasaran ingin segera mengetahuinya.

Sekarang, hujan juga turun. Namun, tidak lebat. Udara menjadi sangat dingin.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, Rinan dan Aria memutuskan untuk pulang. Aku mengantarkan mereka sampai di depan rumah sakit.

"Hati-hati ya bawa mobil, Aria," ingatku seraya tersenyum.

"Iya," sahut Aria yang juga tersenyum. "Kami pulang dulu ya."

"Ya."

Aku mengangguk. Kedua temanku itu bergegas pergi ke tempat parkiran yang cukup jauh dari tempat aku berdiri. Aku menyaksikan kepergian mereka. Lalu Rinan sempat menengok ke arahku, melemparkan senyum padaku.

Mereka pun menghilang dari pelupuk mataku. Mendadak hujan berhenti. Langit yang semula gelap, telah terbuka secara perlahan-lahan. Memperlihatkan sinar keceriaan matahari yang akan kembali ke pelukan Bumi.

Keanehan terjadi lagi ketika Rinan sudah pulang. Hujan akan berhenti saat Rinan pergi. Menjadi pertanyaanku selama ini. Tapi, setiap aku bertanya pada Rinan, ia tidak mau menjawabnya. Aku tidak tahu mengapa ia selalu berusaha menyembunyikan rahasia itu.

Mungkin suatu saat, Rinan akan memberitahu aku tentang rahasia itu. Aku akan menunggu hari itu tiba.

Aku berbalik, menuju ke tempat Mama dan Paman Toto dirawat.

***

Sudah seminggu berlalu, Mama dan Paman Toto masih menginap di rumah sakit. Selama itu, aku terus bersama mereka, dan terpaksa meliburkan diri dari sekolah.

Bunda Frida selalu datang untuk menjenguk Mama dan Paman Toto. Ia yang selalu membawakan makanan untuk kami. Juga membawakan pakaian ganti untukku.

Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang