12. Maafkan aku

7 0 0
                                    

Angin kencang menyambut kedatanganku. Air hujan ikut bergabung bersamanya untuk menyiramku hingga basah kuyup. Walaupun petir menyambar, tidak mengurungkan niatku untuk menikmati keindahan hujan ini.

Lantai balkon kamar basah. Kakiku yang polos, menjejak lantai dengan pelan. Dingin sekali.

Suasana hujan di tengah malam, cukup mencekam. Tapi, perasaan takut tidak mengusikku. Justru nelangsa yang mengusikku sekarang.

Tentang cerita Rendi waktu itu, aku belum paham sama sekali. Aku masih penasaran dan ingin mengetahui fakta yang sesungguhnya.

Aku ingin menemui Rinan dan berbicara dengannya secara empat mata, mengenai apa yang terjadi padanya sehingga ia lumpuh. Tapi, Rinan tidak memberiku kesempatan untuk mendekatinya, dan selalu menghardikku dengan kemarahan.

Hujan lebat ini pasti merasakan apa yang kurasakan. Langit berduka dan berusaha menghiburku. Jiwaku luluh lantak karena merasa cintaku telah kandas sebelum mencapai hubungan yang serius.

Selama berbulan-bulan, aku merindukan orang yang kucintai. Berusaha mencarinya ke segala tempat, tapi tidak pernah ditemukan. Hingga pada akhirnya, waktu mempertemukan kami.

Walaupun kami sudah bertemu, namun, pada akhirnya kami menjauh lagi. Aku tidak tahan menanggung siksaan batin ini.

Air mata berjauhan bersatu dengan air hujan. Hati ini bergetar, ingin mencapai hati yang selama ini ditunggunya. Petir marah pada orang yang membuatku sedih. Rinan, yang telah menggoreskan luka di jiwaku ini.

"Rinan, aku mencintaimu. Biarpun kondisimu beda sekarang, aku akan menerimamu. Tapi, kamu nggak mau dengerin aku."

Aku mengatakan itu pada hujan yang masih setia mengguyurku.

Tetap berdiri di dekat pagar pembatas balkon, aku menerawang lurus ke langit gelap gulita, lalu mengarahkan pandangan ke bawah karena merasakan kehadiran seseorang.

Di sana, ada sosok yang terlihat di halaman depan rumah.

"Siapa itu?" aku mengamati sosok itu dengan seksama. "Rinan?"

Ya. Sosok itu adalah laki-laki. Ia duduk di kursi roda. Membiarkan dirinya basah diterpa hujan. Kepalanya tertunduk.

Entah apa yang dilakukannya di sana. Aku penasaran, buru-buru turun dari lantai dua.

Aku pun sampai di luar rumah, dan berjalan pelan mendekati laki-laki itu. Cahaya terang dari lampu hias, menemani kami yang berjarak cukup jauh.

Jantungku berdebar-debar tidak karuan. Aku menghelakan napas sebelum menyapanya.

"Rinan."

Laki-laki itu mengangkat kepalanya. Ia menoleh di sudut bahu kanannya. Tatapan sayunya, terpancar kesedihan di sana.

"Kamu," katanya dengan nada yang dingin. "Kenapa kamu kemari? Pergilah! Jauhi aku sekarang!"

Aku meremas dua tanganku kuat sekali. "Aku nggak akan jauhin kamu, Rinan. Karena kamu itu pacarku."

"Aku bukan pacarmu!"

Dia membentakku dengan suara yang keras. Aku membelalakkan mata saat ia melemparkan tatapan tajam yang menusuk jantungku. Tapi, masih ada kesedihan yang terpancar di matanya itu.

"Kenapa? Padahal waktu itu, kamu nembak aku. Kamu berharap kita selalu bersama hingga jadi kakek-nenek. Aku juga berharap yang sama kayak kamu."

"Itu nggak mungkin. Kita nggak akan bisa mencapai harapan itu. Lebih baik, kamu cari cowok yang lain buat gantiin aku. Rendi-lah yang cocok buat kamu. Dia itu sempurna. Bisa berjalan, bukan kayak aku yang lumpuh."

Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang