9. Dia bukan Rinan

4 1 0
                                    

"Baguslah karena eneng ngelanjutin sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kakek cuma mendoakan semoga cita-cita eneng tercapai. Terus satu lagi, hati-hati ya selama perjalanan ke sana."

"Iya, kek. Kalau gitu, aku permisi dulu. Soalnya Mama pasti udah nungguin aku."

"Oh, gitu toh. Ya udah, selamat jalan ya Neng."

"Kita pasti bertemu lagi, kek."

"Insya Allah, kalau umur kakek panjang ya."

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Aku mencium tangan Kakek Ayub. Kakek Ayub terlihat berat melepaskan kepergianku. Tak tega meninggalkannya sendirian.

Tapi, apa boleh buat. Inilah jalan hidup yang mesti kuhadapi.

Sesuai perkiraan, Mama sudah menungguku di dekat mobil. Mama sudah berdandan cantik, bersidekap dada seraya melototiku.

"Aila, dari mana aja kamu?"

"Dari rumah kakek Ayub."

"Ngapain ke sana?"

"Pamit sama kakek Ayub."

"Oh. Ya udah, yuk kita berangkat sekarang."

"Iya, Ma."

Mama masuk ke mobil. Aku menyusulnya dan duduk di bangku yang berada di samping bangku yang didudukinya. Paman Toto melambaikan tangan seraya berdiri di depan teras.

"Selamat jalan, Nona Ai, Nyonya Linda. Hati-hati di jalan ya."

"Iya, Paman."

"Jaga rumah ya, Pak."

"Baik."

Kami saling melambaikan tangan seiring mobil berjalan meninggalkan Paman Toto. Aku melihat Paman Toto tersenyum. Aku juga melemparkan senyum padanya.

Sampai jumpa, Paman, batinku.

***

Beberapa jam kemudian, kami tiba di Pekanbaru setelah melewati tengah hari. Mobil pun berhenti di depan kost bertingkat.

Kost yang dikhususkan untuk putri, terletak cukup dengan kampusku. Memiliki fasilitas yang lengkap, dan aku sendiri yang menempatinya.

Turun dari mobil, aku membantu Mama untuk mengangkat koper dan beberapa barang lainnya, yang terletak di bagasi mobil.

Tempat ini memiliki halaman yang cukup luas. Lima mobil bisa terparkir di sini. Terlihat beberapa motor berjejeran di depan kost, mungkin milik para penghuni kost ini.

"Ai. Yuk, masuk!"

Suara Mama menyadarkan aku dari keterpakuan. Aku mengikuti Mama yang sudah membuka pintu kost-ku.

Kebetulan aku mendapatkan kost yang paling bawah, bernomor 2.

Kami masuk ke ruangan yang cukup luas. Ada tempat tidur, meja belajar, lemari pakaian, televisi, AC, WIFI, dan kamar mandinya berada di dalam ruangan. Sehingga aku tidak bersusah payah untuk mandi bergiliran dengan para penghuni kost -- itu kalau kamar mandinya hanya berjumlah satu dan terletak di luar.

Kami meletakkan barang-barang bawaan ke dekat tempat tidur. Mama terlihat lelah, langsung duduk di pinggir tempat tidur.

"Aaah, capeknya," Mama menghela napas lega.

"Iya, Ma. Capek betul," aku ikut duduk di samping Mama. "Mama besok, 'kan, pulangnya?"

"Iya. Mama nginap di sini semalaman."

Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang