5. Kabur

9 1 0
                                    

Begitulah, akhirnya aku menyukai hujan. Hujan adalah teman yang bisa menenangkan hati yang sedang dirundung duka, persis yang kurasakan sekarang.

Aku mundur. Pintu tertutup. Aku kembali menuju ke kamar, untuk berteman dengan ponsel dan kesepian.

***

Perkataan Mama, tempo dulu itu, tidak main-main. Seminggu kemudian, bodyguard itu benar-benar datang untuk menjagaku selama 24 jam.

Di ruang tamu yang menjadi saksi, aku duduk berhadapan dengannya. Ia seorang pria yang berumur lebih tua dariku. Berpakaian rapi layaknya seorang agen rahasia.

"Kenalkan, ini Aila Arisani. Panggil aja dia, Ai," ucap Mama yang duduk di sampingku. "Ini bodyguard-mu, Ai. Panggil dia Fygo."

Fygo yang berwajah tanpa ekspresi, mengulurkan tangannya. Aku enggan membalas uluran tangannya. Namun, melihat wajahnya yang mengingatkanku pada seseorang, membuatku berjabat dengannya

"Fygo."

"Aku Ai."

"Senang berjumpa dengan anda, Nona Ai."

"Aku juga."

"Mulai hari ini, saya akan menjaga anda selama 24 jam. Anda tidak bisa keluar tanpa seizin saya."

"Ukh, gitu ya."

Aku meringis kesal. Fygo yang berbicara formal itu, hanya mengangguk tegas. Tangan kami menjauh. Mama tersenyum melihat kami.

"Bagus. Mama senang karena kalian udah kenalan. Terus Mama juga harap kalian juga bisa jadi teman yang akrab," Mama mengecek arloji yang tersemat di tangan kirinya. "Oh ya, Mama harus pergi nih. Fygo, tolong jaga Ai ya. Jangan sampai dia ketemu lagi sama cowok yang bernama Rinan itu. Oke?"

"Oke."

Fygo mengangguk seraya memegang headset bluetooth yang terpasang di telinganya. Mama buru-buru pergi meninggalkan kami berdua. Pintu terbuka lebar saat Mama sudah keluar.

Hela napas berat terdengar dari hidungku. Aku memandang minuman yang tersaji di meja. Menahan gejolak beban baru yang mulai menyesakkan dadaku.

Ia, Fygo, memandangku. Wajahnya memang mirip dengan seseorang itu.

"Fygo, aku harus panggil kamu dengan sebutan nama aja gitu?" tanyaku.

"Boleh saja, Nona," jawab Fygo cepat.

"Memangnya umurmu berapa?"

"Baru 21 tahun."

"Masih muda."

"Hm. Tampang saya saja yang terlihat tua."

"Memang nampak tua."

"Iya."

"Jangan ngomong formal kayak gitu lagi dong."

"Jadi, saya harus berbicara seperti apa?"

"Anggap aku ini temanmu. Ngomong pakai bahasa sehari-hari."

"Oh, gitu ya. Aku ngerti."

"Ya. Gitu ngomongnya. Pakai aku-kamu."

Aku tersenyum. Fygo tidak tersenyum. Lalu Fygo memperhatikan keadaan sekitarnya. Lama sekali. Aku curiga.

"Kenapa?" tanyaku yang mengerutkan keningku.

"Nggak ada apa-apa," jawabnya seraya bangkit berdiri dari kursi kayu. "Sekarang sesuai jadwal, Nona harus nunggu Bunda Frida di kamar. Nona nggak boleh pergi kemana-mana."

Dengan cepat, Fygo menarik tanganku. Ia kasar sekali. Aku diseret paksa menuju ke kamarku.

"Fygo! Tanganku sakit! Jangan pegang tanganku kuat-kuat gitu!" pekikku yang menggema di ruangan luas itu.

Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang