4. Marah

7 2 0
                                    

Aku menarik piring kecil yang berisikan sepotong kue yang masih utuh. Langsung melahap sepotong demi sepotong kue itu dengan senang.

"Kamu suka banget ya sama kue, Ai?" tanya Aria.

"Iya. Aku suka makanan yang manis-manis," jawabku.

"Pantes. Kamu nambah lagi kuenya."

"Maaf, kalau aku kelihatan aneh."

"Nggak kok."

"Kamu juga nambah, Ria."

"Habisnya kuenya enak."

"Betul."

Kami berdua tertawa. Rinan hanya tersenyum. Di luar sana, hujan masih turun, aku tidak tahu kapan hujan ini akan berhenti.

***

Menjelang jam 10 malam, Rinan mengantarkanku pulang. Hujan rintik masih turun, namun tidak membasahi kami.

"Makasih. Kamu udah nganterin aku pulang. Makasih juga buat pesta ulang tahunnya," ucapku tersenyum. "Aku senang banget sekarang."

"Ya. Sama-sama," sahut Rinan yang juga tersenyum.

"Tapi, ada yang kurang."

"Apa itu?"

"Mamaku nggak hadir saat aku ulang tahun. Biasanya dia akan pulang sekarang, dan ngasih kado spesial untukku. Aku rasa karena dia sibuk bekerja, dia melupakan itu."

Suasana melankolis sempat menerpaku. Rinan menggenggam tanganku. Ia mengatakan sesuatu yang membuatku terhibur.

"Ai, nggak usah sedih. Aku yakin Mamamu ingat kalau hari ini kamu ulang tahun. Pasti dia akan ngasih kado spesial buat kamu pas dia pulang nanti."

"Aku nggak yakin."

"Yakinkan itu sama hatimu. Oke?"

Rinan menunjuk ke dada kirinya. Aku mengerti, lantas tersenyum. Untung saja, derai air mata itu belum jatuh ke Bumi. Hatiku lega karena hiburan dari Rinan.

"Terima kasih lagi, Nan."

"Iya."

"Kalau gitu, aku masuk ya."

"Iya. Aku akan datang besok, terus bawa kamu pergi lagi. Boleh, kan?"

"Boleh kok. Kamu boleh datang ke sini, kapanpun kamu mau."

"Oke."

"Udah ya. Dadah, Rinan."

Aku berbalik seraya melambaikan tangan pada Rinan. Ia juga melambaikan tangan.

"Selamat malam, Ai."

Aku menoleh saat tiba di pintu pagar. Rinan mengembangkan payungnya.

"Selamat malam, Rinan."

Seulas lengkung tipis terpatri di wajah Rinan. Ia berbalik lalu pergi menuju ke rumah yang bersebelahan dengan rumahku. Aku memandangi kepergiannya sampai lenyap dari pandangan.

Tiba-tiba, hujan berhenti. Meninggalkan kesan terindah yang membekas di hatiku.

Satu persatu kendaraan lewat di jalan beton. Rumah-rumah elit di sekitarku, tidak terlihat seorang pun yang lewat lagi. Hanya aku sendiri, yang masih berdiri di dekat pintu pagar.

Pandanganku tertuju pada langit. Mulai terlihat bintang-bintang yang bermunculan di sana untuk menerangi dunia.

Hanya ada satu bintang yang bersinar di hatiku yaitu Rinan. Ia adalah temanku yang terbaik di sepanjang masa.

Ombrop(luv)iaphile Phobia (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang