Setiap orang pasti mempunyai phobianya masing-masing. Dan yang gue tahu, kebanyakan takut badut, hantu atau om-om penculik. Cuman yang terakhir kayaknya udah agak jarang. Anak muda zaman sekarang malah terobsesi sama om kaya agar bisa dijadikan daddy kink meski hanya sebatas selingkuhan.
Eh loh kok ngomongin gituan sih?
Yap, karena bagi gue hal termenakutkan di dunia adalah bagi rapot.
Tentu saja anak muda, angka-angka tersebut begitu pengaruh terhadap hidup dan matimu. Gue nggak habis pikir dengan orang tua yang dengan melihat nilai anaknya bisa sampai marah tujuh hari tujuh malam. Kita nggak tahu ya apa motif mereka sampai sebegitu menuntutnya, tapi menurut gue nilai nggak akan berarti apa-apa. Percuma, kalau nilai lo bikin mata berbinar sampe ngebentuk love tapi mengerjakannya dengan mencontek. Bagi gue, usaha adalah nomer satu. Mau gagal atau nggak, gue lebih bangga dengan diri gue kalau udah berusaha.
Terserah kalau mau bilang naif. Gue memang kadang mencontek sih. Orang tua gue bahkan sampai bilang, kalau ada waktu atau kesempatan ya lakukan saja. Itu saking tergilanya pada seonggok angka yang orang bilang nggak akan mempengaruhi masa depanmu. Tapi kenyatanyaannya, kalimat itu sama sekali tidak berguna bagi anak SMA, karena jalur undangan dilihat dari rapot semester satu hingga lima.
Skip berbicara tentang itu. Jadi, gue ingin cerita soal sekolah gue cukup terlihat seperti labirin. Makanya, Mama nggak pernah mau datang ke sekolah sendiri. Setiap kali menghadiri acara, dia benar-benar nggak pernah hafal. Gue pernah nggak ikut bagi rapot tapi Mama tetap pergi bersama Kakak dan pulangnya, mereka cerita kalau nyasar sampai ke gedung sebelah. Makanya, sejak itu gue selalu ikut.
Gue sekarang berjalan dengan langkah mantap memasuki pekarangan sekolah. Di sisi kiri, ada Mama yang tersenyum setiap kali bertemu salah seorang yang ia kenal. Nggak sih, sok kenal aja. Namanya juga ibu-ibu. Gue nggak tahu, apakah setengah jam kemudian senyum itu akan tetap terpampang nyata disana? Kita lihat saja nanti.
Tapi, hal yang paling bikin mendebarkan ketika ikut adalah Mama selalu ingin gue ada di sampingnya ketika wali kelas menunjukkan rapot gue. Momen itu adalah hal tercanggung apalagi kalau punya wali kelas yang mulutnya julid abis, dan kalau nilai gue turun, gue malah dijelek-jelekin habis-habisan.
Firasat gue kali ini sebenarnya agak buruk. Walaupun nggak bakal ada keterangan remedial di sana karena gue sudah mengerjakannya tempo hari sebelum bagi rapot, Mama pasti akan mengoceh soal begitu banyak nilai yang turun. Walaupun hanya mengomel saat itu saja, dan menasehati beberapa kalimat lalu seperti semula lagi.
+++
Sampai rumah, gue benar-benar segera memasuki kamar. Gue tahu pasti kalau gue duduk di ruang tv, orang tua gue akan membicarakan soal rapot. Sumpah, padahal kalau diungkit terus-menerus, gue bakal kepikiran dan ngedown.
Gue berusaha melupakan pikiran tersebut karena suasana dingin sudah tercipta semenjak di mobil. Mama nggak mengeluarkan sepatah kata apapun. Ayah mungkin peka, jadi nggak berani bertanya apa-apa dan hanya menjalankan mobil menuju rumah. Gue membuka ponsel, berniat ingin scroll timeline dan mencari beberapa hiburan.
DM BTS enak kali, ya?
me: hey guys
me: please cheer me up:(
me: i need a friend
Tiba-tiba, Ayah masuk ke kamar. Ikut tiduran di samping gue.
Awalnya ia hanya diam. Mungkin, karena merasa gue tidak mempedulikan atensinya, akhirnya ia memulai percakapan.
"Gimana ceritanya rapot kamu bisa begitu?"
Tapi mata gue tetap mengarah pada hp. Sebenarnya, gue sudah tidak terfokus untuk membaca tweet. Namun, agar Ayah gue mengerti saja kalau gue sedang tidak ingin membicarakan itu.
"Kayaknya, Ayah salah mendidik kamu." mulai lagi. Kata-kata Ayah yang paling menyakitkan. Ayah memang jarang marah tapi dia selalu saja berkata hal yang membuat gue selalu bungkam. "Salah Ayah memanjakan kamu sampai seperti ini."
Gue berhenti. Menaruh ponsel sembarang arah. Jujur, gue kalau diintimidasi gampang banget kepancing emosinya. Terus nanti nangis juga.
"Aku udah berusaha, Yah." jawab gue akhirnya. Dengan nada agak bergetar, gue melanjut. "Aku berusaha dengan caraku sendiri. Yang penting aku ngerjain jujur. Seharusnya Ayah lebih bangga."
Ayah mendecak, lalu tersenyum sedikit agak meremehkan. "Zaman sekarang jujur itu udah nggak ada artinya. Kalau nilai kamu jelek, emang kamu pikir bakal ada universitas yang mau?"
Lagi. Gue kalau nggak salah udah pernah bilang Ayah gue nggak peduli soal kejujuran gue dalam bekerja. Dia hanya ingin tanggung jawab. Dia hanya ingin hasil. Bagaimana pun caranya, dia hanya akan membanggakan hasil gue walau dengan cara haram sekalipun.
Gila sih, gue kalo punya anak nggak bakal kayak gini.
"Oh Ayah tau," Gue masih diam. Males, kalau gue bicara pasti akan semakin disudutkan. "Pasti kamu kayak begini karena korea-korea itu, ya?" Kalau bukan Ayah gue, udah gue jitak kali ya.
Gue membalikkan badan. Bodo amat nggak menghadap orang tua pas lagi bicara. Gue udah nggak mood sumpah. "Nggak ngaruh,"
"Terus apa?" Gue mikirnya emang lama sih, jadi sebelum gue jawab ayah udah bicara lagi. "Semenjak kamu bisa ngobrol dengan si jongkok-jongkok itu kamu jadi beda."
"Sama kok."
"Ya, pokoknya Ayah nggak mau kamu suka-suka korea lagi."
"Capek Yah ngomongin itu terus."
Ayah bangkit dari kasur gue dan berjalan perlahan keluar kamar. Gue ngedumel sebentar. Tapi mikir gimana hidup gue kalau nggak sama Bangtan. Yaampun. Gue udah dinotice masa sekarang harus ngejauh, sih?
Tapi sebelum benar-benar keluar, Ayah bilang, "Ayah nggak main-main sama omongan Ayah. Kamu lebih baik benar-benar harus jauhin itu atau nggak kamu tahu kan Ayah seperti apa?"
방탄소년단: hm want a surprise?
방탄소년단: i will tweet 🙂
Dan nggak lama gue buka mendapat notifikasi BTS ngetweet sesuatu.
@BTS_twt:
여 러 분 모 하 세 요?🙃
+++a/n
jadi inget pas jungkook ngepost itu gue kobam abis-abisan wkwkwwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
lucky x bts
FanfictionWhat will you do when bts accidentally followed you back? Copyright © 2019 by hipstercake. All Rights Reserved.