Ujung Kepastian

57 7 0
                                    

'Kita berada di ujung kepastian, berada di jurang waktu dan berada di secercah harapan untuk bersama'

Ria dan Bibi menunggu di ruang UGD tempat Arga berbaring dengan beberapa bantuan alat medis, keadaannya tidak terlalu parah. Namun Ria percaya setelah kejadian ini akan ada yang membuat mereka berpisah sebelum mereka ingin mengakhirinya.

" Mamah Arga dan Mita bakalan ke sini, mungkin sekitar jam sebelas malam akan sampai, " ujar Bibi yang duduk di sebelahku.

Aku hanya bisa terdiam duduk mematung, air mata sudah kering dari tadi. Lelah tubuh ini menyaksikan bahagia yang di singkirkan oleh hal seperti ini, mataku sudah sebam merah dengan rambut acakan.

" Aku udah bilangkan, kutukanku berlaku selama aku masih hidup. Sihir itu membuatku tidak dapat merasakan bahagia, walaupun ada pasti akan berakhir seperti ini. Itulah mengapa aku tak ingin memiliki Arga, bagiku dengan melepaskannya aku sudah sangat bisa mencintainya, " tuturku kepada Bibi. Ku tahu Bibi tak akan mengerti apa yang sedang ku bahas, dia tidak tahu dunia diksi yang membuat hidupku terpengaruh atas sihir.

" Ria ngomong apa sih? Nggak ngerti gue. Gue tahu loh sedih tapi nggak usah jadi kayak orang gila gini dong, Sihir apa coba? Emang zaman sekarang ada sihir gituh? " tanya Bibi dengan berbagai ekspresi wajahnya yang selalu berhasil membuatku tertawa.

Melihat Bibi membuatku teringat akan Arga, mereka mempunyai sifat yang mirip. Tapi takdir membuatku jatuh cinta dengan dirinya saja, mungkin ini yang di namakan konspirasi, dimana kekejaman pada sang hati berlaku jahat kepadaku dengan mencintainya sampai sekarang.

" Gak apa-apa Bi, kamu nggak usah ambil pikir ucapanku barusan".

" Gue sebenarnya heran kenapa Arga suka sama loh, apa karna loh aneh yah? Suka ngomong gak jelas? Terus dingin dan jutek? " tanya Bibi yang sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperjelas obrolan kami.

Aku hanya tertawa renyah mendengar pernyataan fakta tentangku, itu pertanyaan yang sama untukku kepada Arga. Dia mencintai manusia aneh seperti diriku.

Namun Bibi juga harus mempertanyakan diriku yang berulang kali di beri harapan palsu tapi kembali mencintainya.

' Apa memang kita nggak di takdirkan bersama? Ini baru awalnya dan aku sudah lelah. Ingin rasanya menghilang menjadi manusia yang tak kenal siapa kamu dan aku dalam drama berkepanjangan ini'.

~ ~ ~

Setelah membersihkan diri, aku kembali menunggu. Lagi-lagi kau membuatku menunggu, menyebalkan sekali soal cintaku yang tak tentu arah ini.

' tak tak tak ' derap langkah dua manusia dengan tergesa-gesa. Sepertinya menghampiriku dan Bibi, mataku masih terpejam dengan kepala yang ku sandarkan di pundak Bibi.

" Mana Arga? " tanya seseorang yang suaranya tak asing. Perlahan ku buka mataku yang masih lelah, menampakkan wajah Mita dan Mamah Arga yang sudah di aliri tangisan.

" tante tenang dulu, Arga baik-baik saja. Dia akan bangun besok perkiraan Dokter," ujar Bibi. Dia bangkit dan mempersilahkan Mamah Arga duduk di sebelahku di temani Mita yang memandangku khawatir.

" Kamu pernah membuat anak saya terjebak dalam club malam, dan sekarang juga semua pasti ulah kamu kan? Dia datang buat kamu! Demi cinta gilanya." tindasnya sambil menunjukku.

Ku pejamkan mataku sejenak dan menghembuskan napas perlahan, " maafin Ria tante, Ria janji gak bakalan lagi dekat sama Arga. Ria pembawa sial," tuturku dengan tawa pahit.

Ku langkahkan kakiku setelah pamitan, memang pada dasarnya aku tidak bisa di cintai orang lain. Bahkan aku tidak pantas merasakan cinta, kenapa aku harus hidup Tuhan? Jika hal yang bernama cinta, hal yang paling di butuhkan manusia harus ku singkirkan.

" Kill Me! " teriakku dengan posisi terduduk bertumpu kaki di lantai yang dingin, berada di koridor terlihat sunyi saat malam sudah pekat.

" mbak, ini rumah sakit bukan tempat bunuh diri. Jangan ribut, shutt! " ujar seorang suster. Ku tatap dia kembali berjalan membawa beberapa obat.

' Arga aku takut, tidak ada lagi temanku seperti kamu. Aku harus bagaimana sekarang? ' lirihku dalam hati, tanpa sadar ku menjatuhkan air mata seketika.

Dafa?
Ah! Dia hanya pemeran lewat, dia temanku kala yang lain pergi. Tapi Arga beda darinya, Arga mampu menarik hatiku untuk hidup bersama jiwanya. Ada apa ini? Bukan dia yang sekarang ku cari, aku hanya sedang menunggu kepastian Arga.

Seseorang memegang pundakku, ku rasakan dia mengangkat tubuhku yang terduduk seolah tak berdaya.

" Kamu pulang dulu Ria, besok kita ke sini lagi. Mamah Arga gak bakalan izinin kamu ikut jagain Arga," ujarnya yang menuntunku menaiki motor.

Kota Makassar sejuk saat ini, malam semakin dingin membawa kita dalam kesunyian. " Bi, aku nggak cocok sama Arga," ucapku tiba-tiba. Entah keberanian dari mana aku mencurahkan isi hatiku sekarang.

" Ria, loh tahu nggak tukang pos selama sebulan yang datang ke rumah loh? " tanya Bibi seolah mengabaikan pernyataanku untuknya tadi.

Ku putar kembali ingatanku mengingat sesuatu yang Bibi katakan. " Iya, kenapa Bi? " tanyaku. Ku dengar Bibi tertawa usil, ada yang tidak beres kan? " Itu Alfarabi," ucapnya kemudian melanjutkan tawa.

' Alafarabi? Bibi? Dia orangnya? Tapi kenapa? ' Ku kurungkan beberapa pertanyaanku itu. Ku biarkan dirinya saja yang menjelaskan.

" Arga yang minta buat kirimin loh surat, sebenarnya itu balasan-balasan puisi loh yang banyak tergantung di pohon," terangnya. " Lagian loh! Ngapain coba gantungin puisi dalam botol terus gantung di pohon? Makin aneh loh yah." cibirnya kepadaku.

Aku terkejut mendengar pengakuan darinya, surat yang mungkin sudah berdebu dalam laci kamarku. " Kok Arga bisa tahu? Terus kok loh mau ajah? " tanyaku dengan ketus.

" Arga baca puisi loh! Dan gue mau karna saat itu gue pengen pacarin si Mita, tapi Arga larang karna katanya Mita punya pacar. Dan sekarang gue bisa deket lagi sama Mita, secara dia udah jomblo," terangnya lebih lanjut.

' Arga, Bibi mirip denganmu. Apa dia yang akan menemaniku selama aku menunggumu? '

' Kamu harus ingat untuk menjawab pertanyaanku yang belum ku temukan jawabannya.'

KEMBALI HIDUP ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang