Pagi ini niatku kokoh untuk bertemu Arga, masa bodoh dengan kehadiran Mamahnya yang mungkin akan memakiku. Ku masukkan beberapa makanan yang telah ku masak dalam tote bag polos berwarna hitam, masakan yang selalu dia puji.
' Loh pandai kelahi tapi pandai masak juga yah,' pujinya saat pertama kali melihatku memasak di rumah beberapa bulan lalu.
" ohayou Ria," ujar Bibi dengan menuruni anak tangga. " Artinya apa tuh? " tanyaku tak mengerti.
" Itu bahasa Jepang, artinya Pagi Ria," sahutnya dengan memperlihatkan senyumnya. Ternyata dia juga sudah siap-siap untuk ke rumah sakit.
" Pintar juga loh ternyata," ujarku seolah meremehkannya. " Ye! Gini-gini gue pinter. Walaupun suka bolos dan milih main basket." timpalnya tak mau kalah.
" Eh itu apaan?" tanya Bibi menengok tote bag yang ku bawa. " ini untuk Arga," ucapku sekilas, kemudian mendahuluinya menaiki motor.
" Cepetan Bi! " teriakku setelah tiba di luar rumah, aku tidak mau banyak bicara dengannya hanya untuk mempertanyakan soal Mamah Arga yang ada di sana juga. Waktuku akan semakin singkat bertemu dengan Arga jika itu berlangsung.
' ~ ~ ~ '
'Clek' ku buka pintu kamar dan melihat Mamah Arga serta Mita yang tiduran di atas sofa. Sedangkan Arga menatapku dengan senyuman.
Tuhan dia sudah bangun dan aku orang pertama yang menyaksikan senyumannya.
" Arga, kamu udah sadar? " tanyaku yang langsung masuk kamar perawatannya, suhunya sedikit dingin. Ku kontrol Ac dan menaikkan selimutnya hingga ke dada kemudian mengecek suhu tubuhnya.
" Aku panggilin dokter yah," ujarku dengan semangat. Akhirnya aku bisa kembali melihatmu bangun.
Belum sempat ku melangkah, genggaman tangan Arga dan gelengan kepalanya membuatku mengurungkan niat. " Cukup kamu disini semuanya sudah baik-baik saja Ria, dari tadi aku nunggu kamu," sahutnya sedikit berbisik.
" Aku buatin masakan yang selalu kamu puji, makan selagi panas," tuturku kemudian menyajikannya di piringan kecil.
" Aku sakit Ria, suapin lah. Mana bisa banyak gerak, kan aku baru sadar," rengeknya kepadaku.
Kenapa dia semakin gila saat sakit seperti ini?
" Ada Bibi, Bibi yang nyuapin kamu yah," ujarku. Ku balikkan pandangan mencari keberadaan manusia itu, mungkin di luar (?).
Kembali ku tatap Arga, dia menggeleng menatapku dengan tatapan cemberutnya.
" Pacarku itu kamu Ria, bukan Bibi. Aku bukan homo lagian. Apa lagi spesies homo sapiens kayak mukanya," sahutnya.
Bisa-bisa jantungku berlari kalau begini terus, Arga berbicara dengan begitu jelas.
Ku hembuskan napas jengah kemudian menyendokkannya sesuap makanan. " Kamu tunggu aku sembuh kan? Dan lomba rindu kita sudah ku pastikan kamu yang kalah," tebaknya menunjukku dengan tatapan jahil.
" Iyalah! Lagian pake acara lomba rindu. Kamu udah tahu walau gak lomba aku bakalan tetap rindu." ucapnya seolah menjawab kembali pertanyaannya karna tak mendapat jawaban dariku.
" Ih Arga, jangan nyebelin." timpalku untuknya. Ku taruh piring di nakas kemudian ku peluk dirinya dalam diam.
" Eh, ini kenapa lagi? Mana Ria yang katanya kuat, nggak akan jatuh cinta. Terikat sama hubungan. Kok Rianya jadi manjah gini?" ejek Arga melihatku seperti anak kecil di pelukannya.
" Kamu mau yah lihat aku kayak dulu? " ancam ku untuknya. Tanpa menjawab pertanyaanku, ku rasakan dia ikut memelukku.
' Hoamm ' terdengar suara dari sofa yang sontak membuat kami kembali pada posisi normal. Arga menatap ke arah sofa kemudian melihatku yang cemberut karna mengetahui aku belum puas memeluknya dan tiba-tiba Mamahnya sudah bangun.
Dia cekikikan tertawa, ku lihat Mamah Arga masuk ke dalam wc. Ku rasa dia belum sadar dengan kehadiranku.
" Arga? Kamu udah bangun? " tanya Mamahnya setelah mulai sadar, dia memeluk Arga dengan lekat di susul Mita yang juga sudah membuka mata.
" Iya mah, hari ini kayaknya lagi menyambut hari pelukan sedunia. Soalnya banyak banget yang meluk Arga," ujar Arga. Aku hanya tertunduk.
" Bisa ajah, perasaan Mamah doang sekarang. Emang berapa banyak? "
" Cuman dua Mah, lebih dari satu kan udah banyak. "
Aku semakin tertunduk, takut sekali jika menatap wajahnya yang sudah pasti geram. " Siapa? Ini makanan siapa? " tanya Mamah dengan nada mengintimidasi.
" Kamu ngapain ke sini?" mungkin itu pertanyaan untukku, perlahan ku angkat wajahku untuk memberanikan diri menatapnya.
hanya ku berikan senyuman. " Kan dia pacar Arga, jelas dia disini Mah," pungkas Arga. " Kalian pacaran? Makanya kamu kayak gini sekarang. Nggak bisa! Kamu mendingan pulang." titah wanita itu kepadaku. Dia menggiring tubuhku hingga menuju ambang pintu.
" Mamah! Mah! " ku dengar suara Arga membentak Mamahnya.
Ku hembuskan napas kasar, berjalan duduk di dekat Bibi yang tengah bermain game. Ku tatap layar ponselnya, dia sama sekali tak menyadari keberadaanku. Dengan spontan ku ikut menyentuh layar ponselnya dan menganggu kegiatannya.
" Apaan sih! " Bibi menangkap wajahku yang sudah datar, dia terkejut melihatku. " Kenapa loh? " aku hanya terdiam kemudian bersandar dari tembok.
" Arga udah sadar Bi, tapi Mamahnya larang aku ketemu dia. Di usir lagi." makiku sendiri.
" Arga udah bangun? Kok nggak ngasih tahu gue? Gue kan juga mau lihat! " suaranya terkejut. Hanya senyuman yang ku berikan.
" Kayaknya memang aku nggak cocok sama Arga bi, bayangin ajah aku serumah sama dia. Langsung berhadapan dan setiap hari bahkan akan ribut sama Mamahnya."
" Pikiran loh terlalu jauh bebep," ujarnya.
" Kok gituh? Memang kita harus berpikiran jauh ke depan Bi! " tindasku tak terima.
" Ya udah kita pulang ajah, jangan pikirin masa depan kalian dulu. Nanti makin kacau," ucapnya.
Dia menarik tanganku menjauhi rumah sakit.
' Arga, rinduku sudah terlampiaskan dengan pelukanmu. tapi sekarang aku rindu lagi karna kamu nggak bisa temuin dan kejar aku kayak dulu, Cepat sembuh! '
~~~~~
YOO IM COMEBACK
JANGAN LUPA VOMENT GAESSS

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIDUP ✔️
FantasíaKu akui hatiku memang telah jatuh kepada hati lain tapi bukan berarti aku harus menuruti setiap yang hatiku inginkan untuk tetap bersama. "dari mana kalian? Di panggil lama sekali". "Habis ribut sama mantan pak". Hal yang paling membebani hidupku...