Bagian14

14 3 0
                                    

Kulangkahkan kaki keluar kelas yang sangat membosankan dan suntuk dan mengingat percakapan kami kemarin malam bersama Adrian denganku. Siang hari yang cukup terik di kampus, hanya segelintir orang yang rela berpanas-panas di jalan, sementara yang lain sepertinya nyaman duduk di bawah pohon yang rindang. Menyebalkan sekali ketika mata kuliah selanjutnya ada diakhir waktu pada sore hari pukul lima, masih ada jeda waktu yang panjang untuk menunggu.

Suara azan zuhur menggema dari masjid kampus yang letaknya tidak jauh dari kelasku. Tanpa ragu kulangkahkan kaki ke masjid untuk salat zuhur dan tidur sejenak untuk melepas suntuk.

Dari sudut mataku bisa kulihat sepasang mata sedang mengawasiku dengan lekat saat aku mengambil air wudhu. Tatapan perempuan itu Elena Humaira, aku bergegas ke dalam masjid dan memulai salat zuhur. Berbagai rapalan doa kupanjatkan, aku memohon agar keluargaku selalu diberi perlindungan, dan untuk ibu semoga diberi ketabahan dalam mengurus anak-anaknya termasuk aku, semoga ia selalu sabar dalam menjalani kehidupannya yang sendiri mengurus kami. Dan untuk ayah, berilah ia selalu kebahagiaan dengan keluarga barunya.

Aku menyadari walaupun kenyataannya orangtua kami bercerai, aku lebih bisa melihat wajah ibu yang segar kembali dan tidak ada beban mengkhawatirkan ayah yang selalu pulang malam dengan pacar barunya.
Kuusap wajahku dengan kedua tanganku seraya mengamini doaku. Aku duduk disudut pojok masjid dengan posisi yang cukup nyaman dengan tas yang kujadikan alas untukku tidur. Dan ingatan dimana Elena menatapku dengan malu-malu tetapi aku sudah berjanji untuk tidak mendekati Zinah saat meminta Adrian untuk mengajariku.

Elena masuk mesjid dengan wajah gelisah menatap seluruh ruangan mesjid. Sosok perempuan tadi kembali menghampiriku masih dengan tatapan tajamnya. Wajah dan rambut panjangnya basah, mungkin ia ingin meminjam mukena milik masjid yang sudah terlipat rapi di sampingku.
Aku tersenyum simpul sambil menyodorkan mukena kepadanya.


"Untuk apa?" Tanyanya datar kepadaku.
Aku memutar bola mata dan menjawab pertanyaannya dengan nada jengkel.


"Ya untuk salat. Kamu kesini untuk salat kan?". Lalu ia menatapku lagi dengan tatapan sinis.


"Maksudku, untuk apa kau salat? Salat bisa membuatmu bahagia?" Tanyanya sinis.
Aku terperanjat kaget, berani-beraninya perempuan ini berkata begitu, dadaku panas dan tersulut emosi.


"Ya, aku bahagia, karena hanya dengan salat aku bisa bertemu Tuhan" jawabku tegas.
Perempuan itu kembali menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.


"Kau tahu? ada hamba-Nya yang tak pernah ingkar sekalipun kepada-Nya. Namun, ketika hamba-Nya tertimpa musibah, Ia sama sekali tidak menolong hamba itu. Aku khawatir kalau Tuhan kita selama ini tertidur" Katanya dengan nada yang kini menginggi. Sudah cukup aku bersabar dari tadi, tuturnya sudah cukup membuatku muak karena menghina apa yang aku percayai.


"Apa maumu? Siapa kamu? Berhentilah menjengkelkan! Kalau kau tidak percaya dengan Tuhan, keluarlah kau dari tempat ini dan tinggalkan aku!" Tuturku dengan nada meninggi, semua orang di dalam masjid memandangku dengan tatapan betanya-tanya. Namun, perempuan ini hanya tertunduk kaku dan menitikkan air mata, aku bingung, apa yang sudah kuperbuat? Perempuan ini sepertinya sedang tertekan dan aku malah membuatnya semakin tertekan.


"Ceritakanlah apa yang ingin kau ceritakan"

Setiap tutur katanya selalu dibarengi dengan air mata. Aku hanya bisa menenangkannya tanpa mampu memberi solusi tentang ceritanya yang begitu rumit. Walaupun malam itu kamin sedang berbincan singkat sebelum bertemu Adrian, tetapi aku sudah berjanji untuk mencintainya dengan diam.

AWAL HIJRAHKU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang