18. Ingin Menyerah

295 35 3
                                    

Cidera yang dialami pasien mengakibatkan kerusakan pada saraf tulang belakangnya. Saya belum bisa memastikan apakah kelumpuhan ini bersifat sementara atau permanen. Untuk saat ini saya akan fokus pada pemulihan pasien lebih dahulu, setelah itu kita akan mulai melakukan fisioterapi untuk memulihkan saraf-saraf yang rusak.

"Jadi? Saya nggak akan bisa berjalan lagi?"

"Untuk sementara, Ya! Tapi anda masih muda, saya yakin masih bisa disembuhkan"

Aku terdiam sambil menatap langit-langit kamar rawat inap yang sudah kutempati sekitar 2 malam ini. Mataku teralihkan pada sosok Dava yang tertidur di sofa di ujung ruangan, Davin dan Kian sudah berangkat kerja, sedangkan Lian, masih di ruang dokter. Dia baru datang tadi pagi, sama seperti Kian, dia pun tampak shock saat mengetahui keadaanku.

Aku menoleh ke arah pintu dan kulihat Lian lah yang datang. Dia tersenyum padaku sambil menghampiriku. Sebenarnya aku sangat kangen padanya, sudah lama sekali kami tidak bertemu. Terakhir aku pulang ke Rusia saat itu Lian masih di luar kota.

"Lo ngeliat gue nya gitu amat, kangen banget ya?"tanya Lian menggoda, ah iya, jangan lupakan keisengannya. Dia itu paling hobi menggodaku. Bahkan dulu aku pernah dibuat menangis karena dia mengurungku di dalam kamar mandi. Jangan lupakan kelakuannya yang mencoret wajahku menggunakan spidol saat aku tidur.

"Resek lo kak"makiku dan dia malah terkekeh, guyonannya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu, wajah isengnya juga tetap sama. Tidak ada sedikitpun raut sedih di wajahnya.

"Lo mau apa?"tanyanya

"Gue mau duduk kak"jawabku sambil mengulurkan kedua tanganku yang segera disambutnya. Lian memposisikan kedua tanganku di bahunya, tangan kanannya menahan punggungku sedangkan tangan kirinya berada di ketiak kananku.
Sesekali aku meringis saat kurasakan nyeri di bagian dadaku sampai akhirnya aku bisa bernafas lega sambil menyandarkan kepalaku pada bantal tambahan yang Lian taruh di leherku, sedangkan bantal yang sebelumnya kupakai ditaruh di punggungku.

"Sakit?"

Aku menggeleng pelan. Lian lalu duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidurku.

"Dava bilang lo nggak mau makan"ucapnya datar dan aku hanya tersenyum sendu.

"Gue nggak lapar kak"

"Lo harus makan Bi, biar lo cepet sembuh"aku mendengus mendengar ucapan itu lagi.

"Kalo boleh memilih, lebih baik gue nggak usah sembuh sekalian kak!"

"BIAN!!"aku cuma terdiam menatapnya sendu.

"Hidup atau mati udah nggak ada gunanya lagi kak, hidup gue udah nggak ada artinya lagi. Hidup gue udah hancur"ucapku frustasi, bahkan suaraku nyaris tak terdengar sampai akhirnya pertahananku runtuh saat Lian memelukku. Aku tidak mampu menahan tangisku lagi saat Lian memelukku.

"Jangan berpikiran dangkal Bi, kamu dengar sendiri kan dokter bilang apa. Kamu masih muda, harapan sembuhmu masih tinggi"

Aku menggeleng dalam pelukan Lian, tetap saja keadaan ini menyiksaku. Bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa bisa berjalan. Aku makin membenamkan wajahku di dada Lian.

"Bunuh aku kak... Bunuh aku.."isakku penuh dengan keputusasaan. Bahkan aku terlalu takut membayangkan bagaimana aku melanjutkan hidupku. Lian lalu melepaskan pelukannya dan membingkai wajahku dengan telapak tangannya.

"Bian stop! Please! Aku jauh-jauh datang kemari bukan untuk melihatmu seperti ini! Aku nggak peduli gimanapun keadaanmu! Kamu tetap adikku, kamu tetap Bian!"

Aku menggeleng lemah, aku cuma si cacat yang tidak berguna. Aku hanya akan menjadi beban untuk semua orang.

"Bian?"hatiku mencelos melihat Dava yang sudah terbangun dari tidurnya. Matanya menatapku sendu. Dava lalu mendekatiku, membingkai wajahku dengan kedua tangannya.

The Hot Guardian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang