Jogjakarta menjadi tempat tinggal Kay dan keluarganya sekarang. Masih sangat sulit bagi Kay untuk menerima keadaan. Entah kenapa Jogjakarta masih terasa asing bagi Kay, walaupun dia sudah beberapa kali ke Jogja untuk liburan baik dengan keluarga atau teman-temannya.
“Kenapa aku terjebak di tempat ini?” Kay seperti menyesal tinggal di Jogja. Matanya hanya menatap sayu ke luar jendela. Teriakan Bunda dan Ayah yang menyuruhnya turun dari lantai dua kamarnya tak dihiraukan.
Kamar Kay terletak di lantai dua di rumah baru. Ukurannya memang lebih kecil dari kamar rumah kenangan namun hawanya sangat sejuk di pagi hari. Jika jendela kamar dibuka jam lima pagi, maka akan terlihat matahari terbit dari gunung besar di belakang rumah dan udara dingin nan sejuk akan merasuk dalam kalbu.
“Kaaaaay turun. Bantu Bunda dan Ayah merapikan barang-barang.” Bunda kembali berteriak untuk kesekian kalinya namun Kay memilih cuek. Jiwa dan raganya sangat lelah sekarang. Kay seolah tak ingin melakukan apapun dan hanya ingin berdiam diri di kamar saja.
“Kaaaaaay cepet turun! Bantuin Bunda dan Ayah ….” Bunda kembali berteriak nyaring.
“Sudahlah Bun, jangan memanggilnya lagi… mungkin Kay ingin istirahat. Biarkan saja …” suara Ayah terdengar menegur Bunda agar tak memanggil Kay lagi.
“Kay …” seseorang bersuara lembut memegang pundak kanan Kay. Hawa dingin langsung merasuk sampai ke tulang. Kay menolehkan kepala dan sedikit terkejut. Aline, batinnya.
“Kamu tidak boleh begini Kay… kasian Ayah dan Bunda. Sepertinya cuma kamu yang tak suka tinggal di Jogja.” Aline membuka pembicaraan.
“Tidak usah ikut campur Aline. Cukup kamu jaga Albert agar tak mengusili Sara.” Kay menunjuk ke halaman belakang dimana Sara sedang menikmati ayunan dengan Albert yang ikut tertawa riang.
“Tenang saja Kay, Albert tak akan mengusili siapapun. Aku jamin itu. Aku kenal kakekmu Kay. Pak Aryo Lee. Beliau lahir dan dibesarkan di Jogja. Aku dan Albert adalah teman tak kasatmata kakekmu. Amanat beliau adalah kami harus tinggal di rumah ini untuk menunggumu. Perlu kamu tahu, rumah ini adalah rumah tempat kakekmu dibesarkan sampai usianya 25 tahun. Setelah menikah, kakekmu pindah ke Amerika sampai akhir hayatnya.” Aline menjelaskan panjang lebar kepada Kay. Kay terdiam dengan menundukkan kepalanya. Sedikit ada rasa bersalah dalam hati Kay.
“Rumah ini juga rumah yang banyak memiliki kenangan masa kecil kakekmu. Kamu tahu kenapa namamu adalah Kay?” Aline bertanya lembut kepada Kay. Matanya menatap nanar sebuah lukisan usang yang terpajang di sudut atas tempat tidur Kay. Lukisan seorang laki-laki muda dengan wajah putih
“Kamu tahu kenapa? Aku pikir namaku ini pemberian Bunda dan Ayah…”“Bukan, kakekmu yang memberikan nama untukmu. Kayindra Kaif yang artinya anak yang hebat dan bersemangat.” Aline memandang Kay dengan tatapan sayang. Noni Belanda cantik ini memang menjadi saksi tumbuh kembang Kay dari bayi sampai berumur 17 tahun.
“Kamu seperti tahu banyak tentang aku …” Kay menatap lekat Aline dengan mata sipitnya. Aline hanya tersenyum manis.
“Aku tahu banyak tentang dirimu dan keluargamu. Almarhum kakek dan nenekmu juga memiliki kemampuan yang sama seperti kamu, mereka bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk tak kasatmata seperti kami. Namun kamu berbeda. Kamu memiliki kemampuan yang jauh lebih hebat dari kakek dan nenekmu.” Alin mulai mengungkap kemampuan Kay.
“Jangan bilang dia tahu aku bisa membuka dan menutup gerbang gaib,” Kay bergumam pelan. Berharap Aline tak mendengar ucapannya.
“Aku tahu kamu bisa membuka dan menutup gerbang gaib dimana semua makhluk tak kasatmata dan kamu bisa masuk ke dalamnya untuk melakukan perjalanan waktu baik itu ke alam gaib atau alam manusia.” Aline mulai menjelaskan apa yang dia tahu tentang kemampuan Kay. Kay terdiam. Dia tak habis pikir tentang Aline yang mengetahui segala hal tentang dirinya termasuk kemampuannya.
“Aku pamit pergi, Kay. Albert memanggilku. Saranku lebih baik kamu bantu orangtuamu. Kasian mereka. Nanti kita lanjut ngobrol lagi tentang gerbang gaib ya… ” Aline pamit pergi dan terbang menembus dinding kamar Kay. Kay hanya bisa tertegun menatap punggung Aline yang pergi dengan Albert dari balik jendela. Sepertinya Aline terlalu banyak tahu tentang diriku, batin Kay.
Setelah Aline pergi, Kay mulai berpikir apa yang dilakukannya itu salah. Harusnya dia membantu Ayah dan Bundanya membereskan rumah dan barang-barang bawaan mereka dari Amerika. Kay akhirnya turun ke lantai dasar dan meminta maaf kepada orangtuanya. Ayah dan Bunda Kay hanya tersenyum melihat kelakuan anak laki-laki satu-satunya yang kadang susah ditebak. Kay diperkenalkan kepada Mang Ujang, Bi Denok dan Bi Lastri, yang akan membantu pekerjaan rumah tangga beserta mengurus kebun di halaman rumah. Kay hanya mengangguk mengiyakan. Pikirannya masih memikirkan ucapan Aline tentang dirinya. Aku harus bisa mencari tahu lebih jauh tentang Aline dan Albert, batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerbang Gaib
HorrorTerbukanya gerbang gaib yang bisa mengantar beberapa orang yang memiliki kemampuan melihat hal tak kasatmata ke alam gaib. Percayakah kamu kalau gerbang gaib itu benar-benar ada?