Tumbal Nyai

880 60 18
                                    


Kay memarkir mobil yang dikemudikannya di sebuah halaman rumah berasitektur kayu yang khas dengan ornament tradisional yang kental. Seorang perempuan paruh baya membuka pintu pagar dengan cepat saat melihat ada Agnes di dalam kaca mobil.

“Paaaak, Buuu Non Agnes pulang. Ya Allah Alhamdulillah.” Perempuan paruh baya itu berteriak nyaring dengan suara sedikit parau. Perempuan itu berlari masuk rumah sambil membuka pintu yang terukir indah dari kayu.

Kay memarkir mobil di halaman rumah yang luas itu dengan rapi. Skill mengemudinya sudah sangat bagus. Dimas dan Naina membantu Agnes keluar dari mobil dan membantunya berjalan.

“Ya Allah, Agnees!” Seorang perempuan berambut coklat langsung memeluk Agnes saat ia keluar dari mobil. Mereka berdua berpelukan sambil menangis. Mengalirkan rindu yang selama ini tertahan dan menyesakkan dada.

“Mamah, Agnes rindu.” Agnes berkata lirih sambil memeluk perempuan berambut cokelat yang ternyata adalah mamanya. Kay, Naina dan Dimas ikut larut dalam suasana sehingga hanya terdiam dan saling lirik satu sama lain.

“Terima kasih kalian sudah membantu menyelamatkan anak saya.” Seorang pria paruh baya bertubuh tinggi mendekati Kay, Naina dan Dimas lalu menyalami mereka bergantian dengan senyuman lebar.
“Saya Arkan, Papanya Agnes. Terima kasih kalian sudah menyelamatkan anak saya.” Ucapnya sambil menahan isak tangis.

“Alhamdulillah Nak, kamu selamat. Mama takut banget kamu gak bisa pulang.”

“Mereka menyelamatkan Agnes, Ma.”

Perempuan itu membantu Agnes berjalan memasuki rumah. Agnes berjalan dengan pelan, tubuhnya masih berusaha beradaptasi dengan keadaan sekitar.

“Tante, Om maaf sebelumnnya. Kita mau izin pamit. Kita cuma mau mengantar Agnes pulang dengan aman dan selamat.” Dimas langsung pamit sambil melirik Kay dan Naina. Kay dan Naina mengangguk paham dan ikut berpamitan. Hari ini mnejadi hari yang berharga untuk mereka semua.

*****
Kay berjalan santai menelusuri halaman sekolah. Bel belum berbunyi sehingga dia berjalan dengan santai sambil membawa tas ranselnya. Beberapa siswa lain malah sibuk bermain basket di lapangan sekolah dan duduk santai di depan kelas.

“Kaaaaay. tunggu aku.” Teriakan seorang perempuan menghentikan langkah Kay. Ia menoleh dan memperlihatkan ekspresi terkejut. 

“Agnes? Apa yang kamu lakukan di sekolahku?” Kay menatap Agnes dengan tatapan bingung. Agnes terlihat jauh lebih sehat dan tidak berjalan pincang lagi. Kay terdiam menatap Agnes. Ada perasaaan menggelitik dalam hatinya. Sesuatu yang sedikit ganjil. Ya, Agnes belum bercerita bagaimana dia bisa ditangkap oleh  siluman ular biadab itu.

“Aku siswi baru di sekolahmu. Dan mungkin akan jadi teman sekelasmu nantinya. Ayo, antar aku ke ruang guru.” Agnes menarik tangan Kay sambil tersenyum lebar. Kay tak bisa menolak Agnes dan pasrah mengantarnya menuju ruang guru.

“Agnes?” Dimas melongo tak percaya saat melihat Agnes berdiri di depan ruang guru  sambil menggandeng tangan Kay.

“Hai Dimas.” Agnes menyapa ramah sambil tersenyum lebar. Matanya melirik ke Albert yang berdiri cengengesan di sebelah Dimas sambil tersenyum usil. Albert melambaikan tangan kepada Agnes seolah ingin berinteraksi.

“Albert, jangan jail.” Kay langsung menegur Abert dan hanya mendapatkan uluran lidah dari bocah londo itu sebelum menghilang.

“Namanya Albert? Ganteng dia.” Agnes tersenyum dan menatap Albert yang menghilang setelah ditegur Kay. Kay  berdehem pelan. memberi isyarat pelan ke Dimas agar membantunya lepas dari Agnes. Dimas tersenyum dan menggeleng pelan.

“Waaah Agnes.” Naina muncul sambil membawa tumpukan buku tugas ke ruang guru dan Kay langsung membantunya agar bisa lepas dari Agnes.

Kay dan Naina mengumpulkan tugas ke ruang guru lalu pamit dengan Dimas menuju kelas. Sementara Agnes, diinterogasi oleh beberapa guru sebelum masuk ke kelasnya yang baru. Di dalam kelas, suasana sudah mulai ricuh. Beberapa siswi perempuan sibuk bergosip tentang adik kelas ganteng yang lagi digandrungi di sekolah. Seorang siswa ganteng yang bertubuh atletis dengan wajah putih disertai mata dengan tatapan tajam membuat seisi sekolah khususnya kaum hawa, gempar. Adik kelas yang katanya juga seksi itu membuat semua kaum hawa bergibah tentang dirinya. Kay, Naina dan Dimas yang tiba di kelas hanya duduk dengan santai dibangku masing-masing sebelum pelajaran dimulai dan seakan tak peduli dengan keriuhan kelas.

“Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan ini Agnesia Arvisha, siswi baru pindahan dari sekolah lain. Bapak harap kalian bisa berteman dengan dia ya. Dimas kamu duduk dengan Agnes karena cuma kursi disampingmu yang kosong.” Pak Leo, guru olahraga masuk kelas sambil memperkenalkan Agnes. Dimas mengangguk dan Agnes langsung duduk di kursi sebelahnya. Ada perasaan aneh nan menggelitik hati  ketika aroma parfum mawar Agnesia tercium, membuat Dimas terpana sesaat sambil menatap wajah cantik Agnesia.

“Aku kenapa? Kenapa ada perasaan aneh saat aroma parfum Agnes tercium?” Dimas bergumam sendiri dan tanpa disadarinya Agnesia menatapnya sambil tersenyum lalu mengalihkan pandangannya.

Naina mengajak Agnes berkeliling sekolah. Melihat setiap bangunan dan sudut sekolah saat istirahat. Kay dan Dimas tak terlihat ikut. Mereka asyik bermain basket di lapangan sekolah. Tubuh tinggi dan tegap mereka menjadi modal utama dalam bermain basket.

“Itu Dimas dan Kay.” Naina langsung menarik tangan Agnes untuk pergi ke samping lapangan basket. Melihat dua temannya menghampiri mereka, Kay dan Dimas mengakhiri permainan basket hari ini lalu mengajak Naina dan Agnes duduk dibawah pohon sambil makan cemilan yang dibawa Dimas.

“Kamu belum cerita tentang nyi blorong atau siapalah itu yang sudah menangkap kamu.” Kay memulai pembicaraan saat mereka semua hening dalam diam dan sibuk makan kue.

“Jadi sebenarnya aku adalah tumbal dari nenekku untuk dia. Seseorang yang kamu sebut namanya dengan berani.” Agnes mulai bercerita dan yang lain mendengarkan dalam diam. Bahkan Naina menatap Dimas dan Kay bergantian seolah tak percaya dengan penjelasan Agnesia.

“Apa??? Tumbal?? Gila!!” Dimas terlihat tak percaya. Wajahnya semakin gelisah.

“Iya, tumbal kekayaan dan pengasihan. Beliau adalah ibu kandung mamaku. Saat itu aku tidur di rumah, nyai dan pengikutnya langsung membawaku begitu saja. Entah kenapa aku tak bisa melawan ataupun bergerak sedikitpun. Tubuhku kaku dan sama sekali tak bisa digerakkan, apalagi berteriak. Seperti ada semacam energy yang mengikat tubuhku namun aku sendiri tak tahu itu apa. Kalian tahu, yang lebih membuatku sakit hati adalah nenek menyaksikan semua itu dan hanya tersenyum saat mereka membawaku pergi.”

“Lalu apa yang terjadi dengan nenekmu sekarang? Apa nenek tahu kalau kamu sudah kembali pulang?” Naina bertanya dengan rasa penasaran.

“Nenek sedang koma, di rumah sakit. Dia tidak suka melihatku bisa pulang. Semua kekayaan yang dia dapatkan sudah tidak ada. Rumah megahnya di Malang hangus terbakar.” Agnes menarik napas dengan berat dan memandang langit yang biru. Bercerita tentang nyai ular membuatnya trauma. Ya, trauma itu belum hilang.

Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan menerbangkan dedauanan kering di tanah. Kay dan Dimas langsung berdiri  waspada lalu menatap semua sudut sekolah. Suasana mulai mencekam dan terasa aneh. Naina dan Agnes saling tatap dengan bingung namun seolah paham dengan apa yang terjadi.

“Dia ada di sekitar sini.” Dimas berucap pelan dan hanya dijawab dengan anggukan pelan oleh Kay. Mereka semakin waspada. Waspada dengan nyai yang mungkin akan mengincar mereka juga.




Gerbang GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang