“Kalian berani denganku?” Sosok perempuan bermahkota, mengenakan kemben hijau namun bertubuh ular dengan tubuh dan kepala manusia itu memperlihatkan sosoknya kepada Kay dan Dimas. Dia tidak sendiri. Ada dua sosok siluman ular berwajah cantik memakai kemben biru dan hitam yang terus berada di sisinya. Dimas bergidik ngeri dan menelan ludah. Ada sedikit rasa takut dalam hati Dimas namun dia berusaha tenang. Berbeda dengan Kay yang terlihat santai namun waspada. Agnes mendekati Dimas sambil menggenggam erat tangan Naina.“Kenapa harus takut? Kamu juga sama seperti kami. Makhluk ciptaan Allah.” Kay menatap sosok itu dengan tatapan tajam.
“Kok ular ya? Aku bisa lihat dia.” Naina berbicara pelan sambil menatap makhluk itu dan sukses membuat Kay menatapnya dengan tatapan bingung sekaligus cemas.
“Naina kamu bisa melihat mereka?” Dimas bertanya dengan ekspresi serius. Naina mengangguk pelan sambil menggengam tangan Agnes.
“Pergi! Jangan mengganggu kami!! Ini bukan tempatmu.” Agnes yang dari tadi diam mulai berbicara lantang. Dirinya merasa sangat terganggu dengan kehadiran sosok itu.
“Diam kamu! Kamu itu cuma sandera yang melarikan diri!” sosok siluman berkemben biru mulai marah. Sosok itu mungkin adalah ajudannya. Agnes tersentak kaget namun pura-pura memasang wajah datar. Kay mulai berpikir keras, berusaha mencari jalan keluar.
Angin kembali bertiup kencang dan tiba-tiba terdengar suara gamelan disertai suara kereta kencana. Tak lama bau melati yang sangat harum tercium, sanggup membuat bulu kuduk Kay merinding.
“BLORONG!! Aku perintahkan kau untuk pergi dari sini!! Mereka tak boleh diganggu siapapun termasuk kamu!” Suara lantang seorang perempuan terdengar nyaring dalam sebuah kereta kencana megah. Kay dan teman-temannya menatap takjub dan kagum dengan apa yang mereka lihat dan diam menyaksikan semua ini.
“Pergi!! Jika kamu dan para dayangmu tak mau pergi atau berani mengganggu anak-anak ini. Kamu akan berhadapan langsung denganku!!” Sosok itu turun dari kereta kencana sambil menatap tajam ke nyi Blorong yang dari tadi hanya terdiam membisu.
“Kau? Ratu parang tritis, jangan ikut campur!!” Nyi Blorong terlihat kesal dan menatap sosok yang turun dari kereta kencana itu
“Anak-anak ini ada dibawah pengawasanku. Jadi mana mungkin aku tak ikut campur! PERGI BLORONG! Tempatmu bukan di sekolah ini. Sekali lagi aku melihat kamu dan pengikutmu mengganggu anak-anak ini, aku tak akan tinggal diam!!”
“Aku tak akan pernah berhenti untuk meneror mereka yang sudah membebaskan tahananku. Aku akan kembali!!” Sosok ratu ular itu pergi dengan rasa marah dan kesal. Kay memandang Dimas dengan tatapan yang tak dapat dimengerti.
“Apa?” Dimas berbicara tanpa bersuara dan balas menatap Kay terlihat gugup dengan kehadiran sang ratu. Kay tak menjawab dan hanya menunjuk sang ratu. Rasa gugup sudah mendera jantungnya saat ini.
“Terima kasih sudah membantu kami.” Dimas memberanikan diri bicara lebih dahulu. Naina dan Agnes terdiam. Merasa takjub dengan apa yang baru saja terjadi.“Sudah jadi kewajiban saya untuk membantu kalian. Agnes, saya tahu kamu dijadikan tumbal oleh nenekmu. Untuk memutuskan ikatan itu, bakar semua sesajen di kamar nenekmu di rumah terakhir miliknya. Bakar semua termasuk lukisan si blorong dan jangan menyisakan apapun.”
Agnes tak menjawab dan hanya mengangguk.“Kalian tidak usah takut. Jika dia meneror kalian lagi. Sebut nama saya saja. Saya akan datang dimanapun kalian berada. Saya pergi dulu.”
Sang Ratu dan kereta kencananya menghilang seperti angin diiringi suara gamelan yang entah bersumber darimana. Kay dan teman-temannya saling pandang dan hanya terdiam.
Suasana sekolah terlihat tenang setelah kepergian si nyai ular. Beberapa siswa seolah cuek dan tak peduli dengan apa yang terjadi karena yang mereka lihat itu adalah angin yang berembus kencang lalu selesai. Hanya Kay, Naina, Dimas dan Agnes yang bisa melihat semua kejadian itu. Kejadian yang mungkin akan mereka ingat seumur hidup.******
RASA
Jiwa adalah jiwa
Yang tak serupa dan tak sama
Bukan berarti hampa
Tapi ada nyawa dalam raga
Yang tak tau letak dan arahnyaCinta adalah rasa
Yang trus ada sampai mata tak bisa terbuka
Dalam jiwa setiap manusia
Rasa yang kekal dan abadi selamanyaAsa adalah hampa
Hanya sebuah bayang-bayang ilusi belaka
Yang tak penting dalam rasa
Sebuah kata tak bernyawa
Tapi mengandung makna
Yang tak tau jawabnyaCinta hanyalah sebuah langkah metamorfosis jiwa
Yang bergerak menjadi sebuah rasa yang bermakna
Yang mungkin kan terkubur dalam jiwa
Selamanya hingga akhir masaKay menemukan secarik kertas bertuliskan puisi didalam tas saat dirinya duduk di atas meja belajar di kamar sepulang sekolah. Sebuah kertas bertuliskan puisi tanpa nama pengirimnya.
“Puisi cinta?” Albert muncul dan memberi senyuman manis.
“Ini bocah, muncul terus.” Kay mendengus kesal. Bocah londo kecil bernama Albert ini memang selalu muncul tiba-tiba dan akan berkomentar dengan apapun yang Kay lakukan. Menjadi hal yang sangat menarik untuk Albert jika bisa mengusili Kay atau sekedar berinteraksi dengannya.“Albert kan gak jahat Kay. Albert cuma ingin interaksi dengan kamu.” Ucap Albert dengan nada memelas.
Kay terdiam. Matanya hanya menatap bocah londo kecil yang sebenarnya menggemaskan. Jika dilihat, Albert sebenarnya ganteng dan menggemaskan dengan rambut pirangnya. Ditambah mata birunya yang berbinar jika sedang menatap Kay. Hal yang paling bisa dikenali dari seorang Albert adalah nada bicaranya yang cukup medok dan sangat fasih berbahasa Indonesia.
“Baiklah, lagipula anak ini tidak menggangu manusia jadi lebih baik aku biarkan saja.” Ucap Kay pelan.
Albert duduk di atas meja belajar Kay dan membaca puisi itu. Puisi tanpa nama yang dikirimkan seseorang saat sekolah. Kay berpikir keras. Pikirannya hanya ingin menemukan siapa pemberi puisi ini. Matanya menatap Albert yang sedang asyik membaca. Bocah londo ini sudah fasih membaca padahal umurnya masih sangat muda. Tiba-tiba Kay mendapat ide. Ide untuk menemukan siapa orang yang memberinya puisi itu dengan memaanfaatkan kepolosan si bocah londo. Senyumnya mengembang dan kembali menatap Albert lalu mencoba melakukan negosiasi dengan bocah itu.“Albert, kamu suka menggambar?”
“Suka, kenapa?” Albert menjawab dengan kepolosannya.
“Kamu suka menggambar apa?” Kay bertanya dengan nada antusias. Matanya menatap Albert dengan serius.
“Gunung, robot, matahari.” Albert menjawab dengan antusias dan semangat. Menggambar memang merupakan hal yang sangat Albert sukai.
“Kamu mau aku belikan peralatan menggambar?” Kay mulai menjalankan rencananya. Dan Albert menjadi target utama.
“Mau banget. Albert suka sekali menggambar dan mewarnai.”
“Ada syaratnya. Besok ikuti aku ke sekolah seharian dan cari tahu orang yang memasukkan puisi ini ke dalam tasku. Okay, deal?” Kay mencoba melakukan kesepakatan dengan Albert. Matanya memandang semua sudut di kamarnya untuk memastikan Aline tak mendengar percakapan dia dan Albert. Akan lebih mudah membuat kesepakatan dengan Albert jika Aline tak ada di sekitar mereka.
“Deal.” Albert mengiyakan permintaan Kay lalu langsung berlari menembus dinding kamar dengan senang. Kay tersenyum melihat tingkah bocah londo itu karena dia bakal sukses menjalankan rencananya.
Kay merebahkan diri di atas kasur. Tubuhnya sudah cukup lelah hari ini. Bau melati yang wangi tercium semerbak di dalam kamarnya. Kay yang awalnya berbaring langsung terbangun dan duduk. Kay terlihat waspada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerbang Gaib
HorrorTerbukanya gerbang gaib yang bisa mengantar beberapa orang yang memiliki kemampuan melihat hal tak kasatmata ke alam gaib. Percayakah kamu kalau gerbang gaib itu benar-benar ada?