Kay, Naina dan Dimas

1.5K 102 4
                                    

Kay memandang lukisan tua di dinding kamarnya dengan serius. Lukisan seorang pria muda berambut cepak, berkulit putih dengan mata sipit yang wajahnya sangat familiar. Pria dengan lesung pipit manis dan senyuman simpul membuat Kay sangat penasaran. Setelah mandi dan memakai kemeja putih, Kay hanya berdiri di depan lukisan itu dengan rasa penasaran yang luar biasa.

“Sepertinya aku pernah bertemu pria itu.” gumam Kay sambil matanya terus menatap lukisan itu tanpa berkedip sedikit pun.

“Tentu saja. Dia kan kakekmu sewaktu berumur 17 tahun.” Aline tiba-tiba muncul dan berdiri di samping Kay. Kay menatap Aline dengan bingung.

“Ini noni suka sekali muncul tiba-tiba.” Kay mendengus kesal. Aline yang melihat ekspresi kekesalan Kay hanya tertawa dan bersikap santai. Bagi Aline, Kay hanyalah seorang remaja berumur 17 tahun yang ingin mengetahui segala hal tentang rumah kenangan ini.

“Rumah ini adalah rumah kenangan Pak Lee. Rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan beliau dari satu gerbang gaib ke gerbang gaib lainnya. Beliau sama sepert kamu, bisa membuka, menutup bahkan melakukan perjalanan dari satu gerbang gaib ke gerbang lainnya.” Aline mulai membuka tabir kenangan tentang Kakek Kay.

“Kaaay cepat sarapan. Kamu tidak boleh terlambat di hari pertama masuk sekolah …” Teriakan Bunda membuat Kay harus mengakhiri percakapan singkatnya dengan Aline. Kay bergegas turun untuk sarapan. Tanpa banyak bicara, Kay bergegas menghabiskan roti selai cokelat dan segelas susu lalu berangkat ke sekolah diantar Ayah dengan mobilnya.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Kay diam-diam mengagumi keindahan kota Jogja. Awalnya Kay berpikir kalau Jogja adalah kota dengan penduduk padat dengan segala kemacetan yang luar biasa namun ternyata Kay salah besar. Jogja sangat tertib dan cukup rapi dalam lalu lintas. Jogja juga menyediakan keindahan alam dan pemandangan alam yang laur biasa indah dan sejuk. Sepanjang perjalanan Kay merasa kagum dengan alam yang hijau, sawah yang menguning dan berbagai macam perkebunan warga disertai udara yang sejuk.

Sekolah Kay cukup jauh dari rumah dan, perlu waktu sekitar 25 menit dengan mengendarai mobil. Sekolah baru Kay terlihat cukup luas dengan tersedianya lapangan tenis dan basket. Sekolah dengan dua lantai itu cukup membuat Kay merasa senang. Walaupun sekolah ini tak sebesar sekolahnya di Amerika. Kay terlihat cukup bersemangat.

Kay melangkahkan kaki menuju ruang guru untuk mencari Pak Beni. Ayah hanya mengantar Kay di depan gerbang sekolah dan menyuruhnya mencari ruang guru untuk memberikan dokumen kepindahannya kepada Pak Beni, wali kelasnya. Kay terus berjalan dengan bingung di lorong sekolah.

“Hai kamu murid baru ya?” Seorang perempuan berseragam, berambut panjang terurai dengan wajah cantik menyapanya dengan ramah. Kay mengangguk canggung.

“Ruang guru dimana ya?” Kay bertanya ramah.

“Kamu cukup lurus nanti pas di depan ada perpustakaan dan disebelah perpustakaan itu adalah ruang guru.” siswi cantik yang Kay belum tahu namanya menjelaskan dengan detail. Wajah siswi itu terlihat seperti orang India dengan hidung mancung dan rambut sedikit pirang.

“Terima kasih. Namaku Kay. Namamu siapa?” Kay mengenalkan dirinya dengan ramah sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Namaku Naina. Senang berkenalan denganmu.” siswi cantik itu menyalami Kai dengan senyuman manis lalu langsung berlari ke kelas di ujung lorong dengan tangan menutupi wajahnya.

“Dia malu Kay.” Albert tertawa dengan usil dan berdiri di samping Kay

“Albert? Apa yang kamu lakukan di sini?” Kay melotot kepada Albert.

“Mengikutimu. Aku suka mengikuti kamu.” Albert menjawab polos lalu berlari cepat menuju kelas Naina.

Kay hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Albert. Kay berjalan menuju kantor guru. Namun tiba-tiba seorang siswa berteriak memanggil namanya dari kelas Naina dengan sangat nyaring.

“Kaaaaaaaaay.”

Kay tersontak kaget dan matanya memandang siswa yang memanggil namanya dengan bingung. Siswa berbadan tegap dengan perawakan cukup tinggi itu langsung berlari memeluk Kay.

“Kay, ini aku Dimas. Dimas Raditya Rayyan … temanmu sewaktu SD di Amerika.” Siswa itu melepaskan pelukannya sambil menatap Kay.

“Dimas yang nakal itu? Yang suka ke rumah kenangan dulu? Yang juga bisa melihat hal gaib seperti diriku?”

“Iya, itu aku. Dimas. Aku senang melihatmu Kay. Aku sangat senang.”

Kay dan Dimas kembali berpelukan. Dimas mengantar Kay ke ruang guru untuk menemui wali kelas, Pak Beni. Pak Beni menyambut Kay dengan senyuman dan mengatakan kalau Kay akan berada satu kelas dengan Dimas.  Kay terlihat sangat senang setelah mengetahui dia sekelas dengan Dimas, XII IPA A. Apalagi saat perkenalan murid baru, Kay duduk sebangku dengan Naina dan disambut dengan ramah oleh murid lainnya. Walaupun tidak seperti sekolah modern di Amerika, Kay sangat senang bisa sekolah di sekolah barunya. Bagi Kay semuanya akan berawal dari sini. Masa-masa dimana Kay akan sangat menyukai masa sekolah. Masa persahabatan antara Kay, Naina dan Dimas juga akan menjadi titik balik kehidupan seorang Kay.

Gerbang GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang