Aku batal membuka pintu. Berbalik dan berjalan cepat kembali ke kamarku. Melangkah terburu-buru dengan sepatu hak. Lalu melongok ke dalam memastikan kalau lampunya telah padam, kemudian mengembuskan nafas lega. Ternyata sudah.
Dengan sigap kubetulkan tali tas yang disempangkan di bahu dan berjalan ke arah pintu. Belum lagi tanganku menyentuh kenop, sesuatu melintas di otak. Aku mengeluh gemas, lalu segera berbalik dan kembali membuka pintu kamar.
Ruangan itu gelap, sama seperti tadi. Lampunya kunyalakan, dan sempat melongok melihat apakah charger batere gawai masih di sana. Oh, sepertinya sudah di dalam tasku.
Kumatikan kembali lampunya dan menutup pintu. Lalu membuka tas kembali, mencari charger gawai. Ahh, itu, berada di saku tas bagian dalam berserta hp.
Aku melangkah. Sempat kuperiksa apakah keran di washtafel sudah tertutup rapat. Tak mau kalau suamiku harus membayar biaya air lebih gara-gara air yang menetes. Sempat juga memeriksa apakah alat menanak nasi sudah dicabut dari sekring listrik.
Kuperiksa jam di pergelangan. Masih cukup pagi. Buru-buru buka pintu unit apartemen, dan melangkah keluar. Klik, klik. Kebiasaanku adalah mengunci dua kali putar. Biar ekstra aman. Kemudian dengan cepat melangkah menuju elevator di ujung lorong.
Belum sampai ke ujung, aku mengeluh gemas. Kembali berbalik menuju unit apartemen, setengah berlari. Kemudian terburu-buru membuka kunci pintu dan masuk. Ke kamar mandi. Aku memeriksa keran, agar jangan sampai ada yang lupa ditutup. Lalu kembali ke kamar untuk mengambil hp di situ.Kunyalakan lampu, sambil mencoba mengingat di mana hp terletak. Kemudian kuperiksa ke dalam tas selempangku. Ternyata di dalam situ, bersama charger-nya. Klik! Lampu pun padam.
Aku menarik napas, mulai merasa lelah dengan semua ini. Menutup pintu kamar, dan ke tempat cuci piring untuk memeriksa kerannya. Juga rice-cooker, apakah mesin penanak nasi itu sudah tercabut dari sekring.
Kucoba merekamnya dalam ingatanku. Keran, sudah. Hp, sudah. Charger, sudah. Lampu? Aduh ....Langsung berbalik ke kamar dan membuka pintunya. Gelap. Jadi lampu pun sudah.
Kembali menghela napas panjang dan kulanjutkan membuka pintu. Keluar dan berjalan ke arah lift.
Detik kemudian aku kembali ke depan pintu unit apartemen. Kutekan kenopnya, memastikan apakah sudah terkunci. Sudah ... tapi kemudian kubuka lagi dan melangkah masuk. Mana charger HP-ku? ....Seseorang menepuk bahuku. Tentu saja jadi kaget dan menoleh. Ternyata suamiku.
“Sudah setengah jam, lho, Gadiza, aku nungguin kamu di parkiran,“ ujarnya dengan nada kesal.
“Maaf, Mas ... tapi sepertinya aku belum tutup keran .... Atau rice-cookernya belum ....“Suamiku mencegah aku masuk. Ia menutup pintu dan mengunci, sambil tersenyum saja.
Katanya, “Sudah. Pasti sudah.“
Aku menunduk, dan menurut saja ketika ia menggandengku ke arah lift. “Maaf, Mas,“ kataku pelan.
Lelaki itu menggandengku masuk ke dalam lift. Di situ kembali kegelisahan mendera. Rasa-rasanya charger untuk hp tertinggal di kamar. Di mana pula hp itu?
“Dalam tasmu, Gadiza," jawab suamiku santai ketika lagi-lagi diri ini mengeluhkan hal itu.
Lift mencapai tingkat dasar. Suamiku menggandeng ke parkiran. Ia minta maaf karena tiga-empat hari ini selalu batal mengantar ke psikiater. Padahal obatku sudah seminggu ini habis.
Ia juga kembali mengingatkan untuk tetap mencatat, walau aku bosan. Ia berjanji akan membelikanku agenda cantik untuk itu.
"Soalnya mulai besok peraturan ganjil-genap untuk mobil akan mulai diberlakukan. Kita harus selalu berangkat sebelum jam tujuh ke kantor. Kamu gak bisa kelamaan periksa ini-itu lagi, Neng," ujar suamiku. Entah serius, entah becanda.
Jadi cemberut, merasa ia menyindir. Meski demikian, aku cinta suamiku.
(tamat)
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASH FICTION & FIKSI MINI
De TodoKarya-karya pendek dari Ndel. Ada beberapa yg creepy, tp gak banyak. Gue gk kuat. 😝