Awet (fiksi mini)

50 5 2
                                    


Ada pepatah 'First Love Never Dies'. Cinta pertama tak pernah mati. Akan senantiasa terkenang, baik pahit maupun manisnya.
  
Kupikir memang ada benarnya. Kalau sekarang teringat, jadi 'nyengir' sendiri. Kala aku di usia belasan menghadapi cinta dan aneka nuansanya. Itulah sebabnya perasaan ini bergolak tidak karuan ketika lelaki itu mengotakku di WA.
  
[Mila, pa kbr?]
[e sibuk sidang pidana ya, skrg? Kl ad waktu, gw btuh konsult nih. Ad kasus cukup rumit. Ksh kbr, ya.]
     
   
Aku merasa gamang saat membalasnya. Ya, Benino adalah cinta pertamaku. Walaupun bisa dikatakan cinta monyet zaman SMA, tetap saja itu membekas di hatiku. Bahkan hingga kini di usia berkepala tiga, berulang-kali kenangan itu mencuat.
  
Bukan karena kami sempat pacaran. Malah sebaliknya. Ia sempat mempermalukanku kala itu. Juga di masa kuliah, ketika aku nekad menyatakan perasaan padanya. Aku dikerjai di depan kawan-kawannya.
   
Aku merasa cukup murahan ketika akhirnya setuju bertemu di satu coffee-shop. Entah bagaimana, perasaan ini masih terpatri di hati. Mendengar kalau ia sedang ditimpa masalah pelik, rasa yang selama ini tersimpan sebagai kenangan, bangkit.
    
   
"Kamu awet muda." Itu komentarnya ketika kami telah sama-sama memesan secangkir kopi. "Sungguh, aku terkesima ... kagum mendengar sepak-terjang kamu sebagai jaksa muda."
   
Aku tak dapat menyembunyikan senyumku mendengar perkataan itu. Beni sendiri tampak banyak berubah. Mungkin karena banyak pikiran seputar kasus yang membelit selama satu tahun ini, ditambah uban di kepala, lelaki itu tampak jauh lebih tua. Padahal usia kami sama.

Ah, Beni .... Apa yang telah terjadi? Tawanya terkesan dipaksakan, jauh beda dari bagaimana ia tertawa ketika berhasil mengerjaiku kala kuliah dulu. Apakah waktu itu ia bercanda atau bermaksud mem-bully, hasilnya sama saja.
    
Hasilnya, ada yang berubah padaku. Walau banyak yang katakan aku awet--tidak banyak berubah penampilan sejak remaja--hati ini jelas tidak seperti dulu.
    
  
"Aku yakin, Mila, perasaanmu dulu itu masih awet. Sama seperti kecantikan dan kemudaanmu. Aku ... aku pun sebenarnya punya rasa ....
    
"Ajar aku, Mila. Ajar aku bagaimana mengawetkan rasa itu.
   
"Setelah kasusku selesai, pasti ... pasti kita bisa kembali menjalin rasa di hati ini."
   
Itulah yang ia katakan dalam dua kali pertemuan kami. Aku terenyuh mendengarnya. Tak menyangka kalau lelaki yang agak 'playboy' ini berniat mengukuhkan satu rasa bagi satu orang wanita. Bagiku.
  
  
Pada pertemuan ketiga, kukatakan kalau tidak bisa menjamin kemenangan kasusnya di pengadilan. Ia tampak terpukul, tapi tetap kukuh minta aku mengusahakan apa pun untuk mengurangi tuntutan yang dialamatkan padanya.
  
"Lakukanlah, Mila. Supaya kita punya kesempatan menjalin kembali cinta kita di masa lalu. Dan ... dan izinkan aku menumpahkan perasaanku ... padamu ...," ujar Beni sendu sambil menatapku. Ada kilatan bening di matanya.
   
Lalu, kira-kira apa tindakanku berhadapan dengan cinta pertama ini? Maukah mengawetkan rasa yang Beni katakan ada pada hatinya?
    
  
Tentu saja mau. Sebagai lulusan jurusan hukum pidana, aku pernah mempelajari ilmu forensik--pemeriksaan medis korban kejahatan. Aku tahu bagaimana mengawetkan hati, supaya rasa sekaligus warnanya tidak berubah. Aku punya koneksi ke laboratorium forensik kepolisian. Bisa menyewa satu laci di lemari pendingin.
 
   
Hati Benino si playboy bisa kuawetkan di situ. Kira-kira, berapa lama yang diinginkannya? Setahun? Lima tahun?
  
Dengan hati-hati kumasukkan cawan patri berisi limpa lelaki itu ke dalam almari pendingin. Diteteskan beberapa senyawa, hatinya akan utuh di situ. Kuyakin rasanya juga.
 
.
(tamat)

FLASH FICTION & FIKSI MINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang