Bagi Alanis, melihat David pulang ke apartemen mereka disaat urusan pekerjaannya belum selesai adalah hal mustahil. Namun kali ini, laki-laki yang masih berstatus suaminya berdiri di depan pintu apartemen dengan wajah yang tidak terlalu ramah.
Alanis tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, saat sosok yang dirindukan hadir nyata di hadapannya. Masih dengan senyuman, Alanis buru-buru menulis pertanyaan di buku kecilnya lalu berusaha menunjukkannya pada David yang sudah berjalan ke ruang tempat mereka biasa menonton tv.
"Kau pulang lebih cepat?"
"Apa urusan bisnismu sudah selesai?"
David membaca sekilas lalu mendengkus. Melihat senyuman bodoh Alanis yang masih belum pudar dari wajahnya.
Kembali menunduk, Alanis hendak menuliskan kembali pertanyaannya untuk David, namun terhenti akan suara berat suaminya.
"Apa sebenarnya yang ada di otakmu itu?"
Alanis menggeleng dengan raut tak mengerti lalu bertanya maksud ucapan David.
"Ternyata selain tidak bisa bicara, kau pun tidak bisa berpikir dengan baik."
Meskipun ia belum paham apa yang sedang David tuduhkan padanya, tetapi tetap saja, kata-kata David barusan membuat hatinya berdenyut."Kenapa kau tidak pernah bilang padaku bahwa selama ini kita hidup dari penghasilanmu yang tidak seberapa itu?! Kau menganggapku tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kita? Iya, begitu?!"
Alanis menggeleng panik. Tidak menyangka hal yang selama ini ia lakukan akan membuat David semurka ini. "Jawab! Kenapa kau diam saja?!" Alanis hanya bisa menunduk takut, tangannya gemetar saat berusaha menuliskan penjelasan
Kepada David.Melihat lambatnya respon dari Alanis, David merebut buku kecil dari kedua tangan Alanis dan membantingnya ke lantai. Nafasnya memburu, tanpa kata ia langkahkan kaki keluar dari apartemen miliknya. Tidak perduli pada Alanis yang terisak kencang.
Jika memang ingin marah, setidaknya berikan kesempatan untuk wanita tunawicara seperti dirinya menjelaskan dengan caranya, pikir Alanis sedih lalu terduduk dilantai.Puluhan menit berlalu, Alanis masih enggan beranjak dari tempatnya, ia mencoba membuka lembar kertas dari buku kecilnya. Tepat di halaman ketiga buku itu, terdapat tulisan yang ia tujukan pada David saat pernikahan mereka belum genap satu minggu, sayangnya David enggan untuk membaca hingga akhirnya semua yang ia lakukan dengan tulus harus memancing kemurkaan David padanya.
David, untuk masalah keuangan kita, apa kau ingin aku yang mengelola pengeluaran setiap bulan atau kau punya cara lain?
Aku juga memiliki penghasilan walau tak sebanyak dirimu, jadi aku akan menggunakan sebagian penghasilanku untuk hidup kita berdua, bagaimana? Kau setuju?
Karena kita hidup bersama aku harap kita bisa saling membantu
........................................................................
"Arrrggghhhh!!!"
Padahal, seteleh beberapa hari tinggal terpisah dari Alanis, sebagian hati David merasa bahwa belum saatnya ia menceraikan wanita itu. Namun dengan kesalahan yang telah di buat Alanis selama berbulan-bulan tentu membuat harga dirinya terusik. Sebagai laki-laki yang berpenghasilan lebih dari cukup setiap bulannya, David merasa terhina atas tindakan Alanis. Setidaknya, jika memang ingin menanggung biaya hidup mereka Alanis bisa meminta izin terlebih dahulu padanya sehingga ia tidak seperti orang bodoh yang mentransfer nominal uang ke dalam kartu ATM yang bahkan masih ada di dompetnya.
Berusaha menenangkan diri sendiri. David rasanya butuh bertemu dengan seseorang, tanpa pikir panjang ia menelepon nomor seseorang yang tersimpan di ponselnya.
"Ya, David?"
"Cecilie, kau ada waktu?"
"Mmh... maaf David, hari ini aku sangat sibuk."
David menghela nafas berat, orang yang diharapkan nyatanya tidak bisa menemani.
"Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku tutup ya?"
"Tunggu. Cecilie, apa kau sakit? Suaramu terdengar aneh?"
"Apa? Ah ti-tidak. Aku hanya... hanya... sedang dalam pertemuan penting yang sebentar lagi akan di mulai. Maaf David, aku harus menutup teleponnya."
"Ok, maaf tel-" sambungan terputus. Menyugar rambutnya kebelakang, David lalu berbaring asal di ranjangnya.
........................................................................
3 jam berlalu, kini langit telah berganti warna. Keadaan apartemen tempat Alanis tinggal makin terlihat gelap karena belum ada lampu ruangan yang dihidupkan. Jangan tanyakan kemana perginya si penghuni apartemen tersebut, karena Alanis masih setia dengan posisinya sejak David meninggalkannya tadi sore.
Duduk dilantai dengan memegang buku kecilnya. Kedua mata wanita yang sedang hamil itu terliat sembab dengan bekas air mata yang mengering di ke dua pipi putihnya. Tidak ada yang ia lakukan selain terus berpikir kesalahan yang telah ia perbuat. Salah satu kebiasaan Alanis sejak kecil, Alanis kecil akan enggan pergi dari tempatnya setelah seseorang memarahinya. Dan ternyata masih Alanis lakukan saat ini, ketika ia sudah besar bahkan bersuami.
.......................................................................
David terbangun saat waktu menunjukan pukul sebelas malam entah mengapa matanya terasa tidak ingin melanjutkan tidur kembali. Nyatanya meski tubuh telah beristirahat namun otaknya tidak berhenti mengulang kejadian saat di apartemen tadi sore. Itu pertama kalinya ia membentak Alanis hingga wanita tersebut menangis. Jujur saja, ia sedikit menyesal. Bagaimanapun, Alanis adalah sosok istri yang cukup menjalankan kewajibannya dengan baik, walau akhirnya berubah menjadi membosankan.
Beberapa menit berlalu namun rasa kantuk tidak kunjung kembali. David berinisiatif untuk melihat apa yang dilakukan Alanis setelah ia pergi lewat layar tv yang menampilkan semua rekaman di apartemen miliknya.
David memutar kembali rekaman sekitar jam enam sore saat ia tiba di apartemen. Ia makin merasa bersalah ketika melihat Alanis yang ia bentak dengan keras. Istrinya terlihat sangat ketakutan dengan kepala tertunduk dan kedua tangan yang saling mengepal. Belum lagi ketika ia merebut dan membanting buku kecil milik Alanis.
Ya Tuhan, David mendesah pelan. Tidak menyangka perlakuannya tadi sangat-sangat kasar dan menakutkan, sangat pantas kalau Alanis menangis. David terus menonton rekaman setelah ia pergi. Kening laki-laki itu mengerut saat melihat ternyata Alanis---
..................
Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
No Voice [Complete]
Fiksi UmumSeorang pengusaha di Nottingham terpaksa menikah dengan seorang perempuan tunawicara yang telah menyelamatkan ayahnya dari kecelakaan mobil. Pernikahan mereka terlihat baik-baik saja dari luar, namun siapa sangka justru terdapat banyak masalah di da...