Bagian 5

10.1K 1.5K 260
                                    

🌸🌸🌸

Arlan bergerak tidak nyaman di tempatnya. Ia merasa terganggu, napsu makannya hilang dan ingin mencongkel biji mata sebiru laut yang sejak lima belas menit lalu menatapnya. Lebih baik ia adu otot atau adu Argumen dari pada ditatap seperti itu, risih dan geram. Ia ingat sesi pelukan yang membuatnya mual.

Sudah empat hari berlalu sejak Arlan menjadi pembicara di seminar terbuka di kampusnya. Fakta-fakta tentang Arlan yang belum ia tahu, akhirnya ia ketahui juga. Bagaimana bisa ia tidak tahu orang yang mempunyai saham di mana-mana dan dua pulau terkenal itu adalah suami kakak angkatnya. Menurut kabar burung puyuh yang beredar di kampus, Arlan sudah wara wiri di berbagai majalah bisnis yang kebanyakan anak Fakultas Ekonomi semua jurusan mempunyai majalah itu. Tapi ia sendiri tidak punya, apalagi teman-temannya. Kebanyakan majalah mereka bersampul binatang dengan telinga panjang dan dua gigi yang menonjol.

"Masih lihatin aku begitu, aku colok matamu!" ancam Arlan mengacungkan garpu yang ia gunakan untuk memakan mie instan goreng Aceh.

"Kayak berani aja." remeh Agung.

Jelas Arlan tidak berani. Bisa-bisa ia ditinggalkan Alya pergi lagi. Maka pria yang selalu menyombongkan kekayaannya pada Agung itu memilih melanjutkan makannya.

"Dua pulau itu, benarkan punya Kakang?" tanya Agung serius.

Jika memang Arlan memiliki pulau, apalagi sudah terkenal dan selalu menjadi rekomendasi destinasi wisata, kapan-kapan ia akan berlibur di sana dan berjemur di pantainya seperti para bule yang ada di Bali.

"Iya, bahkan air laut, pasir dan ikan-ikannya punya aku." balas Arlan. Ia menyesal minta dimasakkan satu bungkus mie. Harusnya tiga bungkus mie ia minta pada Alya tadi sebelum pergi ke Panti.

"Astagfirullah, ampuni lah hamba-Mu yang penuh kesombongan ini, ya Allah. Turunkan lah azab-Mu dan berikan dia hidayah-Mu agar manusia sombong nan kikir bin medit dan jahat ini sadar. Aamiin."

Puk!

Bantal sofa mendarat tepat di wajah Agung setelah acara berdoanya selesai. Arlan langsung menelan mienya panjang-panjang. "Sekali kamu doa kayak gitu, motor kamu itu aku jadiin rongsokan."

Agung menyengir lalu menangkupkan tangan meminta maaf. "Bercanda kali." ucapnya memangku bantal yang menerpa wajahnya tadi. "Serius Kang, beneran pulau itu punya Kakang?"

"Kurang jelas apa lagi?" jengah Arlan.

Agung menyengir lagi. "Boleh lah aing nginap di sana sama teman-teman. Bali terlalu jauh, ongkosnya juga pasti mahal."

Arlan memicing. Tubuhnya bersender pada sofa. "Mau di pulau mana?" tanya Arlan. Lalu membuka ponselnya.

Agung tambah nyengir mendengarnya. Pasti Arlan sedang menyuruh orangnya untuk menyiapkan kamarnya nanti.

"Em ... pulau Tangkil aja deh, aing penasaran sama keindahannya. Kata teman sing yang udah pernah ke sana, tempatnya bagus dan paling cocok buat lihat sanrais dan sanset." Agung melihat sendiri hasil protet temannya yang diambil di pulau Tangkil saat matahari terbit dan terbenam. Sangat indah.

Arlan berdecak kecil melihat balasan pesan dari Alya. Perutnya masih merongrong. "Berapa malam dan berapa orang?" tanya Arlan lagi. Tangannya sibuk mengetik pesan.

Agung sudah senang. Pasti decakan Arlan tadi karena ada masalah kecil saat meminta kamar penginapan pada orangnya. "Tiga hari juga cukup."

Arlan berdecak kesal. Alya pulang dua jam lagi, dua anak kembarnya tidak mau pulang dari Panti. "Satu malamnya satu setengah juta buat kelas ekonomi dan sepuluh juta buat kelas ekslusif. Tiga puluh sampai seratus juta buat kelas VIP dan VVIP untuk semalamnya. Kamu pilih kelas berapa?" balas Arlan, setelah meletakan kasar ponsel seharga motor metik berlogo M itu.

Bule KW(Agung doang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang