Bagian 7

8.9K 1.2K 113
                                    


🌸🌸🌸

Suasana Bandara Soekarno-Hatta tampak lenggang di pagi hari yang sudah seperti siang hari, panasnya benar-benar menyengat kulit. Seorang pemuda yang baru saja tiba dari luar negeri berdiri sambil memegang koper dan jaket tebal yang disampirkan di lengan kanannya. Kaca mata hitam dan masker melekat pas di wajahnya.

Perbedaan suhu udara yang sangat kentara pemuda itu rasakan ketika menginjakkan kakinya di tanah air. Dengan menggunakan penutup wajah saja pemuda itu sudah sangat tampan, apalagi jika masker hitam itu dibuka. Mungkin ketampanannya akan berlipat ganda. Ditambah postur tubuh yang tinggi terlihat sangat ideal. Bak model Internasional. Jika dilihat sekilas, pemuda itu mirip pemeran pria dalam drama City Hunter.

Mata yang tertutup kaca mata hitam itu meneliti setiap orang, mencari sosok yang akan menjemputnya. Sudah hampir lima menit ia menunggu, namun batah hidung orang itu tidak terlihat. Itu waktu yang sangat lama menurutnya. Menunggu adalah hal yang paling ia benci.

"Bro!" teriakan itu berhasil menarik perhatian beberapa orang dari aktifitas mereka. "Sorry, i'm late!" katanya setelah sampai dengan napas sedikit memburu.

Pemuda itu menurunkan kaca matanya sebatas ujung hidung dan menatap datar, lalu menaikan kembali kaca mata hitamnya.

"Five minute, twenty two seconds." pemuda itu menatap jam tangannya. "You know, i hate waiting." lanjutnya dingin dan berjalan mendahului pemuda di depannya yang kini memasang wajah masam. Meninggalkan kopernya begitu saja dan melempar jaketnya tepat pada wajah pemuda yang semakin merengut itu.

"Ayolah brother," pemuda itu mengejar langkah cepat di depannya. "Di jalan macetnya panjang. You know what i mean. This is Jakarta. Jakarta dan macet itu bagai kembar siam yang nggak bisa dipisahin dan--"

Brak!

Pintu mobil sport warna kuning ditutup dengan sangat kuat tanpa adanya rasa kasihan. Meninggalkan si pemilik mobil yang menganga. Berharap jika mobil mahal hasil rengekan dari ibu tercinta tidak masuk gudang rongsokan.

...

Agung memasuki rumah Arlan dengan kewalahan. Kedua tangannya penuh dengan barang belanjaan. Apalagi saat di jalan tadi, dengan motor besar yang tidak ada tempat untuk menaruh barang belanjaannya. Agung terpaksa mencangkolkan kantung belanjaan besarnya pada setang motor kirinya yang mengakibatkannya hampir saja terserempet mobil saat akan berhenti di lampu merah tadi.

"A Agung!" Agung yang sedang menenteng belanjaannya hampir terjungkal saat Darren dan Darrel menerjang kakinya dengan kuat.

"Untung nggak jatuh." gumamnya.  Melihat ke bawah untuk menegur kedua setan kecil yang kini bergelayut di kakinya.

"A Agung itu apa?" tanya Darren. Melihat beberapa kantung besar di tangan Agung.

"Itu mainan buat kita ya, A?" Darrel ikut bertanya. Kepala anak itu mendongak sempurna demi melihat kantung yang menarik perhatiannya.

"Bukan. Enak aja buat kalian." jawab Agung sambil melangkah kesusahan. Darren dan Darrel tetap bergelayut di kakinya.

"Itu ada kotak, pasti mainan kan?" ucap Darrel yang memegang erat kaki Agung.

"Ini kotak buat bungkus kalian. Mau Aa paketin ke Afrika." langkan Agung makin terseok. "Aw!" jeritnya.

Semua kantung belanjaannya jatuh karena tangannya refleks memegangi bekas gigitan Darren dan Darrel di kedua kakinya.

"Ka-kalian! Aduh nyeuri pisan!" Agung berlutut dan meringis. Benar-benar seperti digigit buaya rasanya gigitan kedua setan kecil yang kini sudah menjarah isi kantung belanjaanya.

Bule KW(Agung doang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang