Bagian 10

8K 1.3K 144
                                    


🌸🌸🌸

Hujan deras mengguyur Ibu Kota hari ini. Beberapa ruas jalan mulai tergenang air. Cuaca panas selama hampir seminggu akhirnya mengumpulkan uap yang mulai pekat menjadi kabut hitam yang menumpahkan air dengan jumlah banyak. Aroma khas tanah kering tersiram air begitu menusuk indera penciuman.

Banyak yang tidak suka dengan aroma menyengat itu. Namun, tidak sedikit juga yang menyukai aroma itu. Tajam namun menenangkan. Dan salah satu orang yang menyukai aroma khas itu adalah gadis yang sedang berdiri menengadahkan tangan, menampung air dingin yang jatuh dari atap teras toko boneka yang sudah tutup. Gadis itu sangat menikmati aroma khas tanah kering yang basah dan sensasi dinginnya air yang turun dari langit menerpa kulit tangannya yang sedikit keriput karena terlalu lama bermain air.

Sudah lama sekali ia tidak merasakan suasana se-menyenangkan ini. Di negara Paman Sam sana, ia tidak bisa merasakan kedamaian ini. Jika hujan turun ia berada di dalam ruangan dan hanya bisa menatap air murni itu dari jendela yang tidak bisa dibuka. Tidak ada tanah di tempat tinggalnya yang hampir semuanya tertutup paping jalan. Semua kenangan manis dalam hidupnya terjadi saat hujan. Merasa kurang puas hanya dengan bermain air yang turun dari atap ruko, gadis itu berlari kecil menuju taman mini yang ada di samping ruko tempatnya berteduh. Rasanya damai, saat butiran-butiran air yang turun serentak itu menjatuhi tubuhnya. Kepalanya terasa sejuk saat rambut hitam sebahu sudah mulai basah.

...

Agung mendesah bosan. Ini hampir satu jam ia menunggu seperti orang menunggu hidayah yang tak kunjung datang. Haaah ... Hujan masih saja deras, air turun mengeroyok apa saja yang ada di bumi, membuatnya seperti pecundang yang datang secara gerombolan. Banyak orang yang menerobos hujan, ada juga yang sengaja berjalan santai.

Agung berdecih melihatnya. Apa enaknya hujan-hujanan? Hanya membuat tubuh basah dan paling parahnya bisa sakit dan lebih fatal lagi bisa tersambar petir. Hangus dan nyawa melayang. Ini bukan dunia animasi yang sering adik-adiknya tonton, dimana ketika hujan deras, kilat menyambar lalu, tersambar sampai tulangnya terlihat kemudian hidup lagi dan biasa saja. Ini dunia nyata, tidak semudah yang terlihat di dunia fiktif.

Hujan, kilat dan petir. Adalah tiga hal yang tidak disukai Agung. Apalagi jika tiga hal itu sudah datang dalam tidur nyenyaknya, menjelma menjadi mimpi buruk dengan anak kecil ketakutan dan cahaya monster menyeramkan. Membayangkan itu membuat Agung bergidik di tempatnya duduk.

"Dinda?" mata bermanik biru laut itu memicing untuk memastikan.
Walau dari jarak jauh dan pandangan yang buram karena hujan. Agung sangat tahu bahwa gadis yang sedang berdiri sambil bermain air hujan di lapangan itu adalah Dinda. Gadis yang selalu marah-marah jika bertemu dengannya.

Agung menggeleng. Ini tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa gadis itu sakit jika bermain hujan seperti itu. Apa yang ada di dalam otak gadis itu sehingga bermain di derasnya guyuran hujan seperti anak kecil. Melawan gusar dan resah, Agung memberanikan diri menerobos air yang turun berkeroyok. Dalam hati ia berdoa semoga tidak ada kilat dan petir.

Tungkai panjangnya ia gerakan cepat sambil membuka payung lipat yang selalu diselipkan Alya dengan alasan sedia payung sebelum hujan. Dan itu sepertinya berlaku untuk Agung sekarang.
Dinda yang sedang berjongkok untuk melepaskan sepatu mendongak, saat dirasa ada yang menutupi tubuhnya dari atas dan air yang dingin itu tidak menerpanya lagi.

"Agung?" Dinda terdiam menatap Agung dari bawah, pun begitu dengan Agung yang menatap Dinda dari atas. Mereka terdiam cukup lama di tempatnya.

Lama mereka saling tatap sampai akhirnya payung yang dipegang Agung terbang, terhempas angin yang lumayan kuat. Dinda buru-buru berdiri, gadis berparas ayu nan manis itu menggembungkan pipinya kesal. Ada saja yang mengganggu kesenangannya bermain hujan.

Bule KW(Agung doang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang