Langit pun bisa membisu,
Cahaya pun bisa memudar,
Tangisan pun bisa menyeru,
Begitu pula aku bisa lebih jauh pergi dari yang kau inginkan.
Biarlah langit yang berbicara,
saat aku membisu.Biarlah cahaya kegelapan yang tersisa,
Disaat aku mulai menyirna dari hidupmu.Biarkan isakan dalam batin yang menjadi pilihanku saat rindu itu berkutik didasar hati.
Livina menaruh Bolpoin-nya, ia sangat kesal hari ini. Semuanya begitu saja terjadi. Sekarang ia hanya sendiri di perpustakaan sekolah, ia tak peduli langit yang akan menggelap.
Livina menopang dagunya diatas tangannya yang mengepal diatas meja. Ia sekarang rindu dengan orang yang sangat ia benci. Ia benci sahabat kecilnya, yang tega membuatnya sendiri sampai saat ini. Ia sangat benci Reifan yang berjanji akan menjadi temannya selamanya, ia membenci Nia yang katanya menyayangi dirinya.
Ia benci mengingat itu, ia benci rindu dengan mereka berdua. Ia benci semua orang didunia ini.
Tidak sadar pun, air mata Livina jatuh tanpa izin. Isaknya begitu sesak. Sekarang, ia bebas mau apa disini. Ia sendiri disini.
"Nangis aja, gue tau lo tertekan." Seorang laki laki memberikan jaketnya kepada Livina. Dan duduk disamping Livina. Menaruh tasnya diatas meja.
Livina menoleh, ia melihat sosok Alvin sekarang. Livina mengelap kasar air matanya yang jatuh. Ia kesal, kenapa orang ini selalu ada saat ia sendiri? Ia tidak sendiri ternyata. Ada Alvin yang juga mempunyai hobi yang sama seperti nya, yaitu membaca buku juga menulis diperpustakaan sebelum pulang.
"Tahu apa lo tentang gue?" Livina menengadahkan kepalanya.
"Seenggaknya, gue tau Kevin bukan sepupu lo."
"Livina, gue punya otak. Gue punya hati. Gue bisa mikir, logika gue jalan. Lo gak bakal sampai nangis kalau seandainya lo itu hanya sebatas sepupu sama Kevin."
Livina bungkam, ia terkejut dengan pernyataan Alvin. Itu sangat benar. Livina bodoh untuk berbohong. Livina terlalu bodoh untuk berpura pura.
****
Langit begitu indah, bewarna biru dengan suhunya yang masih terasa dingin. Jarum jam menunjukkan pukul 06.00, Livina dan Kevin sudah siap. Kini mereka berdua sudah rapih dan lengkap memakai seragam sekolahnya, Kevin yang menyalakan mesin mobilnya jadi menoleh ke arah Livina yang memilih bungkam untuk kali ini.
"Lo marah?" Tanya Kevin, sambil menarik gas nya lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Livina hanya memutar kepalanya ke arah jendela mobil, ia tak ingin melihat wajah busuk Kevin lagi.
"Gitu doank marah, iya maaf gue kesiangan."
Bukan, Livina marah bukan karena Kevin kesiangan. Melainkan karena dirinya tidak pernah bisa bersamanya lagi seperti dulu. Livina hanya merindukan suasana dimana sebelum Kevin mengenal Clara dan Catline. Namun ia juga tak bisa menyalahkan apalagi membenci keduanya. Karena ia tahu, takdir memang seperti itu.
"CK, kapan sih lo itu bisa ngerti perasaan orang?" decak Livina dalam batinnya.
Selama perjalanan, hanya ada suara halus dari mesin mobil yang melaju. Suara klakson klakson mobil dan motor yang benar benar sangat membuat kacau gendang telinga. Manusia manusia tidak ada yang mengalah untuk dahulu mendahului kendaraan demi kendaraan hanya untuk cepat sampai pada tujuan masing masing.

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Just Imagination
RomanceAku pernah mencoba merelakanmu untuk sekian kalinya. Mencoba membiarkan hati ini hancur. Dan parahnya lagi, aku mencoba untuk tak peduli dengan rasa yang ada didalam hati ini. Senang Sedih Bahagia Haru Takjub Retak Hancur Mati! Kubiarkan perasaan...