Rintik rintik hujan mulai membasahi bumi, hujan kembali turun mengguyur ibu kota. Dengan cemasnya, banyak orang yang ketakutan banjir terjadi lagi di ibukota. Rintik hujan itu kian deras, membuat basah rindang dedaunan, membuat becek aspal aspal dijalan.
Dua anak perempuan itu berlari dibelakang dua anak laki laki. Dengan keadaan yang basah kuyup karena terguyur hujan, dua anak laki laki yang setahun lebih tua dari perempuan dibelakangnya itu berhenti disebuah toko yang tutup. Dua anak perempuan itu ikut berhenti, laki laki itu bagaikan pengarah jalan kemana mereka hendak pergi.
Ditengah heningannya kota Jakarta, ditengah derasnya hujan mengguyur bumi, mereka mengigil. Dua anak perempuan itu memeluk tubuhnya sendiri, seraya memanggil ibunya dengan gigi yang gemetar karena suhu udara begitu dingin untuk anak sekecil mereka. Rambut mereka berempat sudah lepek, mukanya sudah basah dipenuhi air yang turun dari langit. Bajunya habis dimakan air. Semua yang mereka rasakan adalah dingin.
"Mas Tian, nanti aku dimarahin sama ibu." Anak kecil berbaju pink dengan perpaduan warna kuning dan biru yang disusun menjadi warna yang abstrak itu mengigil ketakutan. Antara takut dimarahi dan kedinginan.
Laki laki yang tingginya sama seperti anak perempuan yang tadi memanggil nya itu langsung menengok ke arah kanannya dimana ada yang berbicara kepada nya.
Baju anak laki laki itu berwarna hitam polos tanpa corak dan warna lainnya. Ia memakai celana sepanjang atas mata kakinya, yang sama dengan warna bajunya. Dengan kulitnya yang putih dan karena sekarang dia terguyur hujan, terlihat sekali kulitnya itu pucat seperti mayat. Tentu saja ia kedinginan.
"Nanti biar aku yang bilang sama ibu kamu."
Anak perempuan berbaju kuning polos itu ikut menengok kearah pembicara, dirinya juga masih menggigil kedinginan. Ia menangis dalam batinnya, agar ketiga sahabatnya tidak mengetahui jika ia sedang takut dimarahi ayah dan ibunya. Belum lagi jika ia harus dimarahi oleh nenek dan kakeknya serta paman bibinya. Ia memang tinggal bersama mereka, makanya jika ia dimarahi selalu saja dimarahi mereka. Pasalnya, dia memang anak yang selalu dilarang oleh ibunya. Dia anak yang dibedakan oleh ibunya. Oleh karena itu, ibunya terlalu jahat kepadanya.
"Ina, aku juga takut sama kayak kamu. Tapi percaya aja, semua akan baik baik aja. Ya kan mas Rei?"
Dengan muka polosnya, laki laki bertubuh paling tinggi itu ikut menengok, dengan tatapannya yang cepat kearah sosok anak perempuan berbaju pink itu. Ia mendekat ke arah perempuan itu, lalu tersenyum tulus bak seorang kakak."Ina, kita kan main bareng. Berarti ngambil resiko nya bareng bareng dong."
Ina tidak mengerti, dirinya masih ketakutan. Yang ada dipikiran nya sekarang adalah bagaimana jika ibunya marah dan ibunya bilang kepada ayahnya yang akan membuatnya kena hukuman lagi. Dia hanya membalas omongan Reifan yang lebih tua satu tahun itu dengan senyuman.
"Nia, kamu gak kenapa kenapa?" Tanya Tian sedikit cemas melihat mata Nia yang memerah.
Tangis Nia pecah, ia tak tau harus apa. Dirinya tak ingin kena marahan oleh ibunya dan keluarga nya. Belum lagi, ia harus memiliki kakak laki laki yang tak pernah menyayanginya.
Beribu kali ia telah menahan agar airmatanya tak pecah. Namun, usahanya tak berhasil, matanya sangat perih hingga memerah. Air mata itu terus memaksanya untuk keluar.Isakan yang masih sangat sesak, nafas yang masih terperangah, mulut dan gigi yang bergetar membuatkan bunyi karena gesekan antara gigi. Nia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia terduduk dengan kakinya ditekuk didepan dada, menundukkan kepalanya dengan keadaan tangannya yang masih menutup wajahnya.
Tiga sahabatnya itu mengikuti Nia, pertama-tama yang memeluk Nia adalah Ina. Dan disusul oleh Tian juga Reifan.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Just Imagination
RomansaAku pernah mencoba merelakanmu untuk sekian kalinya. Mencoba membiarkan hati ini hancur. Dan parahnya lagi, aku mencoba untuk tak peduli dengan rasa yang ada didalam hati ini. Senang Sedih Bahagia Haru Takjub Retak Hancur Mati! Kubiarkan perasaan...