TAARUF PERTAMA

12.9K 382 12
                                    


Sehari setelah acara syukuran kelulusan putrinya, Kyai Hamdan mengajak Hasna berbincang di ruang santai keluarga. Pria berjanggut lebat itu duduk selonjoran di sofa bed coklat muda bermotif abstrak. Dengan lembut dan hati-hati diarahkan obrolan pada gadis bermata bulat yang tengah duduk di samping kanannya.

“Lulus sudah, besar sudah, berarti?”

Gadis yang baru sebulan diwisuda itu mendiamkan saja kata-kata tersebut. Diubah posisi duduk hingga tangan mampu menyentuh kaki besar pria yang masih berbadan tegap meski usia sudah enam puluh tahun. Dengan lembut, jari-jari mulai menekan kulit kaki yang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus.

“Nikah itu ibadah terlama, penggenap agama, pahalanya surga, Neng. Jadi, jangan ditunda-tunda,” tambah lelaki berhidung mancung itu. Tekadnya kali ini benar-benar kuat untuk menikahkan putri semata wayangnya. Beribu alasan yang akan dikeluarkan Hasna sudah siap ditangkis.

“Neng belum mau menikah, Abi. Mau S-2 dulu,” kilah pemilik rambut hitam sepunggung yang tengah menekan-nekankan jari pada kaki pria bersarung kotak-kotak hitam putih itu. Meski ada keinginan melanjutkan S-2, tetapi tidaklah kuat. Itu lebih sebagai alasan menolak rencana pernikahan saja.

“Beres S-2 lanjut S-3, kapan nikahnya?”

Gadis lulusan Universitas Negeri Islam Bandung itu menghentikan aktivitas memijit kaki Kyai. Menatap ke wajah teduh itu dalam, lalu menunduk kembali. Sejenak otaknya diputar untuk mencari alasan baru.

“Neng mau bantu Abi urus pesantren, urus dakwah dulu.”

Satu argumen kembali didapatkan. Berharap dorongan sekaligus desakan ini tidak dilanjutkan. Bukan tak paham keutamaan pernikahan, hanya hati belum cenderung ke arahnya.

“Urus pesantren dan dakwah bersama suami lebih berkah dan indah, Geulis.”

Terbantah sudah bermacam alasan yang kerap dilontarkan. Kali ini, Hasna tak mampu menolak lagi, pasalnya kuliah sudah selesai. Usia pun menginjak dua puluh tiga tahun. Ditatap kembali sorot menenangkan itu sebelum melemparkan argumen penolakan berikutnya.

“Aa Hafiz dulu aja yang nikah, Neng setelahnya.”

Sekali lagi Hasna mencoba peruntungan menaklukkan serangan kyai yang terkenal berilmu agama tinggi itu.

“Aa Hafiz sedang mempersiapkan pernafkahan dulu. Kalau Neng’kan tidak.”

Gadis berkulit putih kemerahan itu menghela napas dalam, tak ingin lagi bicara lebih jauh rasanya. Dia merasa kali ini Kyai tak main-main.

“Abi punya beberapa calon. Taaruf saja dulu, kalau cocok lanjutkan, kalau tidak, cari yang lain.”

Kyia Hamdan Abdul Ghofar mengusap rambut panjang putrinya lembut, tersenyum dan mengangguk. Hasna menyerah dengan kekukuhan ayahnya kali ini sebab tak ada alasan yang bisa disodorkan lagi.

“Menikah itu indah, Neng. Hidup jadi lebih bahagia, percaya, deh sama Umi,” sela seorang wanita berdaster motif batik yang masuk membawa nampan berisi teh manis dan sepiring kue-kue basah. Hasna segera meraih nampan dari tangan wanita berkulit kuning langsat itu, lalu meletakkan di depan Kyai. Setelah berbincang hangat dengan keduanya, undur diri, memberi kesempatan orang tuanya bersantai setelah kemarin disibukkan dengan acara syukuran seharian.

Di kamar, gadis itu merebahkan raga yang masih menyimpan kelelahan. Meski hanya syukuran, acaranya cukup menguras tenaga. Dari kemarin ikut berjibaku menyediakan sajian itu melelahkan.

Ucapan Kyai terkait rencana taaruf membuatnya sedikit gelisah. Bukan karena tak percaya dengan pilihan ayahnya, tetapi hati itu masih terkunci. Belum pernah ada seorang pun yang sanggup membukanya.

*****

Hari taaruf pun tiba. Zainal Arifin, putra pemilik pesantren tersohor dari Banten yang juga sahabat Kyai Hamdan telah menunggu setengah jam di ruang khusus tamu. Kyai mengajaknya berbincang di sofa berwarna marun dengan hiasan garis emas di pinggirannya. Tampak binar bahagia terpancar dari wajah kedua lelaki itu. Sesekali terdengar tawa renyah di sana.

Sementara, yang ditunggu malah mondar-mandir di dalam kamar. Gadis itu gelisah setengah mati mengingat hari ini akan dipertemukan dengan kandidat calon suaminya. Beberapa ayat Al Qur’an teruntai dari lisan, berharap mampu menetralisir keresahan yang cukup membuat tubuhnya tak nyaman.

Ketukan di pintu kamar makin membuat jantung Hasna bertalu-talu. Wanita yang wajahnya terlihat segar masuk, menyunggingkan senyum menyaksikan putrinya bersikap kekanak-kanakkan.

“Ayo, sudah ditunggu dari tadi!”

Wanita setengah baya itu hampir tertawa saat kedua bola mata di depannya membulat sempurna. Tanpa kata lagi, digandeng gadis yang tengah dirundung kegelisahan.

Umi tak melepaskan genggaman hingga gadis jelita itu duduk di samping Kyai, berhadapan dengan pemuda bermata sendu, yang bulunya melentik sempurna. Ustadz muda lulusan Al Azhar Kairo itu mengangguk dan tersenyum menawan.

Perbincangan di dominasi oleh Kyai dan calon mantunya, sedang Hasna lebih banyak diam. Sesekali menjawab jika diperlukan. Itu pun sebatas iya dan tidak yang dilontarkan.

Berbagai pancingan dilemparkan Kyai agar putrinya mau lebih membuka diri. Namun, Hasna bergeming, pikirannya tak fokus, hati pun gundah gulana. Saat menautkan jari-jari, barulah dirinya sadar bahwa di sela-selanya sudah dipenuhi bulir-bulir keringat.

Selama taaruf berlangsung Hasna memahami bahwa pria pewaris utama pesantren rintisan kakeknya itu hampir tanpa cela. Hanya saja, entah mengapa hatinya tak goyah, sedikit pun tak ada getaran di sana.

Hasna menghirup udara panjang lepas kepergian kandidat pertama. Sesuatu yang menghimpit pernapasan langsung menghilang. Cepat-cepat gadis itu menuju kamar diringi umi tentu saja. Tanpa basa-basi wanita pengganti ibunya itu mengajaknya membahas kesan pertemuan barusan.

Sambil membantu membuka sleting gamis di bagian punggung, umi bertanya, “Kalau di hati ada ser-ser tandanya Neng cocok. Ada, gak?” Umi menanti jawaban sambil memperhatikan putrinya mengangkat bagian tengah hingga bawah gamis untuk dilepas dari atas kepala.

Hasna membalikkan badan setelah melepas gamisnya. Ditatap lekat wanita yang telah merawatnya sepenuh jiwa. Dibiarkan sesaat mata yang mulai menua itu menelusuri iris coklatnya.

“Maaf, Umi!“

*

Novel  CALON MANTU KYAI ready stok

Rp 99 000

Pemesanan
081261934594

CALON MANTU KYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang