Hari ini pelajaran pertama pengolahan informasi yang akan disampaikan ustaz Irvan. Hasna datang terlambat karena sejak subuh bolak balik kamar mandi, perutnya melilit. Setelah minum habbatusauda kapsul barulah sedikit mereda.Gadis itu setengah berlari menuju ruang praktikum komputer yang terletak di lantai dua ruang belajar para santriwati. Napasnya mulai tersengal menahan kelelahan juga lemas akibat metabolisme perut berlebihan.
Pelajaran dilakukan pukul tujuh sampai sepuluh setiap hari senin dan dan selasa untuk enam guru ikhwan, rabu dan kamis untuk enam guru akhwat. Tugas mereka membimbing santri di jam itu digantikan oleh yang lainnya.
Saat pintu terbuka, Irvan melemparkan senyum yang memunculkan desiran halus di dada Hasna. Satu anggukkan dan gerakan tangan ke dalam mengisyaratkan dirinya boleh masuk kelas. Dengan kepala tertunduk, gadis itu berjalan menuju kursi tunggal dengan meja yang di atasnya sudah tersedia perangkat PC. Kalau tak ingat amanah, rasanya ingin keluar saja sebab malu tak biasa dirinya terlambat.
Kali ini duduknya agak berjauhan dari Rum. Hasna duduk di bangku ketiga barisan belakang sedang temannya di bangku pertama di barisan depan. Hasna jadi lebih serius memperhatikan pelajaran sebab tak ada yang bisa diajak bercanda.
Irvan menjelaskan bagaimana membuat suatu sistem penyimpanan dan pengolahan data. Materi disampaikan secara sistematis dan mudah dipahami. Tampak jelas kapasitas keilmuan Irvan tak bisa disepelekan.
Para guru yang mengikuti pelatihan ini pun tak beda jauh dari Hasna. Mereka antusias terhadap ilmu baru ini. Kerap beberapa peserta bertanya, kadang manggut-manggut saja.
Lepas pelajaran pertama Rum langsung mendekati Hasna.
“Gimana?” tanya Rum antusias
“Apanya?” Hasna menjawab tanpa menoleh, asyik dengan coretan di bukunya.
“Ustaz Irvan,” bisik Rum.
“Hay, mau belajar apa ngecengin Ustaznya?” Hasna mengerucutkan bibir, lalu mendelikkan mata.
“Dua-duanya! High Quality, loh. Kamu mau nyoba buka hati, gak?”
“Yeee! Emang dia punya kuncinya?”
“Pastilah! Ustaz Irvan itu .... “
“Afwan, Ukhty Hasna, Akhy Hafiz memanggil!”
Ucapan Rum terpotong oleh panggilan Irvan. Kontan saja wajah kedua gadis yang sedang membicarakan pria itu memerah.
“Iya, Ustaz. Jazakallah. Kami permisi,“ ucap Hasna dengan wajah tertunduk.
Setelah pamit pada Irvan, Hasna langsung menarik Rum. Jantungnya benar-benar tak karuan saat ini.
“Maluuu!” seru Rum.
Di gerbang masuk pondok putri, Hasna melepaskan genggaman. Rum langsung menutup muka sambil terus bicara.
“Neng! Ayo!”
Panggilan Hafiz yang sedang mencari Hasna membuat jantung Rum makin kencang detakkannya. Dia tak berani melepas tangan di wajah yang kian memerah.
Rum menjawab ucapan pamit kakak beradik ini pelan-pelan. Dia sempat merutuk kala suara tawa temannya sayup sampai di telinga.
***
Pelatihan IT sudah berjalan hampir satu bulan. Hari ini akan masuk materi kedua yaitu pengolahan citra dan grafis. Interaksi Irvan dan Hasna makin intens karena kebutuhan belajar mengajar yang mengharuskan tatap muka.
“Ciee! Love!”
Sebelum kelas dimulai seperti biasa Rum akan menggodanya.
“Ck! Love dari Hongkong! Udah, ah. Ngomongin gituan mulu!” tukas Hasna sambil menepis wajah jail temannya.
“Tapi, senengkan, hihihi!” lanjut Rum.
Hasna tak memungkiri, pesona pria itu terlalu sulit diingkari. Pertemuan berulang dengan Ustaz muda yang royal senyum itu perlahan-lahan berhasil membuka pintu hatinya. Selalu dan selalu ada desiran halus kala tatap tanpa sengaja beradu. Namun, gadis itu tak mau melambungkan asa setinggi Himalaya, khawatir tak berbalas juga sebab lelaki itu tak hanya ramah pada dirinya. Terhadap Rum perhatian juga.
Pelajaran kali ini rasa berbeda, ketidakkonsentrasian menerpa. Sekuat mungkin menghindari tatap meneduhkan itu agar mudah mengendalikan rasa. Matanya menatap layar komputer di atas meja belajarnya, tetapi tak ada satu pun perintah Irvan yang dikerjakan.
Irvan berkeliling memonitor satu per satu pekerjaan peserta, memastikan bahwa mereka mengerti yang harus dikerjakan. Saat mendekati meja Hasna, terlihat gadis itu tak fokus pada tugasnya. “Ukhty Hasna, bagaimana, apakah ada kesulitan?”
Ditanya dengan suara semerdu biduan membuat jantung Hasna ser-seran. Grogi langsung menghinggapi hingga pena pun jatuh dari genggaman.
“Oh, eh, sementara tidak, Ustaz.”
Gadis itu merutuki kegugupan yang makin kentara dari suara yang terus bergetaran. Rum yang melihat perubahan sikap temannya mulai melakukan kejailan.
“Afwan, Ustaz. Ana kurang paham yang ini!”
Rum menunjuk pada materi terkait photoshop yang sebenarnya dia telah pahami. Segera saja Irvan menerangkan tanpa kecurigaan apapun.
Melihat sikap Rum, Hasna meradang. Tiba-tiba kepalanya rasa berasap. Ingin tangan itu mencubit pinggang temannya. Namun, mengingat harus menjaga wibawa hal itu urung dilakukan.
Rum menahan tawa melihat sahabat yang sedang berwajah masam.
“Jazakallah khoiron, Ustaz!”
Rum mengangguk sopan.
“Afwan.”
Irvan kembali ke barisan ikhwan untuk memonitor langsung satu per satu peserta pelatihan IT. Sebagai mentor perfectionis dia tak ingin satu pun lewat dari pantauan.
Hasna mendelik pada sahabat yang menurutnya berlebihan. Yang dipelototi garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum kegelian.
Lepas pelatihan, Hasna segera keluar dari ruangan tanpa mengindahkan panggilan Rum. Kejadian tadi masih menyisakan kekesalan tersendiri. Dia berjalan cepat sekali agar tak bisa disejajari lagi.
Di ujung gedung, Hasna berhenti, merasa aneh karena Rum tak mengejarnya. Penasaran, gadis itu membalikkan badan. Kini dia benar-benar menyesal melihat pemandangan tak indah di depan sana. Rum bersama Irvan berdiri berhadapan.
*
Hari ini pukul sepuluh pagi pelajaran tauhid memasuki bab konsekuensi keimanan pada Al Qur’an. Meski hati diliputi kegalauan, di depan murid yang berjumlah tiga puluh orang, berusaha bersikap tenang dan berwibawa. Sejelas mungkin dipaparkan materi agar tak menyisakan keraguan.
“Al Qur’an adalah huda atau petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Nah, maka dari itu Al Quran bukan hanya dibaca dan dihapalkan, tapi juga wajib diamalkan. Siapa saja yang mengamalkan isinya tentu dia akan bertaqwa, sedangkan yang mengabaikan itu berdosa dan tersesat.”
Santriwati memperhatikan pelajaran dengan pandangan lurus ke depan. Sesekali mengangguk, kadang mengerenyitkan dahi saat pelajaran disampaikan.
Ruang belajar diatur tak terlalu berdempetan. Satu meja diperuntukkan dua orang, sedang kursinya satu-satu. Untuk barisan disusun tiga baris ke depan, lima baris ke belakang.
“Hukum-hukum yang terkandung dalam Al Qur’an cocok untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Isinya lengkap dan mampu menyelesaikan persoalan seluruh manusia,“ tambahnya dengan gaya penyampaian tenang.
Pelajaran tauhid selesai pada pukul dua belas siang. Setelah para murid mencium tangannya, bergegas keluar ruangan. Kali ini tak langsung ke kantor, dia ingin mencari tempat menyendiri dulu. Tak pergi salat karena sedang berhalangan. Untuk langsung makan siang pun rasanya hilang selera.
Hasna pergi ke tempat agak jauh agar Rum tak menemukannya. Dia memilih tempat di belakang gedung asrama santri Tsanawiyah. Di sana ada sebuah taman dengan kolam ikan berukuran seluas tiga meter persegi. Di tepi kanan kolam ada pancuran kecil yang menambah keindahan tempat itu.
“Hai, ngelamun aja. Ada apa, nih?”
*
Novel CALON MANTU KYAI ready stok
Rp 99 000
Pemesanan
081261934594
![](https://img.wattpad.com/cover/184483447-288-k723750.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CALON MANTU KYAI
RomanceHasna adalah putri Kyai Hamdan yang belum berkeinginan menikah. Namun sang ayah terus mendesaknya untuk segera naik pelaminan. Beberapa calon diajukan Kyai pada putrinya, tetapi tak satu pun yang masuk di hati gadis itu. Siapakah pria yang kelak mam...