CALON KEDUA

6.9K 286 2
                                    

“Neng, kok lesu, sakit?”

Hasna sedikit terlonjak, sentuhan seseorang berbarengan dengan suara lembut membuyarkan lamunannya. Dia menoleh ke kanan, menemukan sosok perempuan berbola mata coklat tengah menatapnya.

Perempuan itu Rumaisa. Teman Hasna sejak kecil. Perempuan berwajah oval dengan tahi lalat di dekat alis kiri juga merupakan guru di pesantren tersebut.

Rumaisa duduk di kanan Hasna. Mereka berbagi bangku panjang yang terbuat dari semen. Abi sengaja membuat beberapa bangku panjang di taman-taman pesantren, katanya agar santri bisa duduk menikmati alam, bertafakkur.

“Sakit?” Rumaisa mengulang kembali pertanyaan yang belum mendapat jawaban.

Hasna tak langsung menjawab, dia kembali menoleh ke depan. Menatap pohon jambu yang berada dua meter dari bangku mereka. Hasna selalu suka duduk di bangku panjang taman Pesantren di samping gedung kelas Aliyah ini. Dia senang melihat pohon jambu yang batangnya sudah mulai melengkung.

“Aku bingung Rum, Abi terus-terusan mendesakku untuk menikah. Mana ditaarufin lagi.”

Rum tertawa perlahan, menertawakan keanehan sahabatnya. Tangannya ditempelkan pada jari-jari Hasna yang sedang bertautan.

“Masya Allah, apa yang harus dibingungkan, Neng Geulis. Nikah’kan ibadah. Aneh, deh.”

Hasna menoleh sekilas, tersenyum tipis, lalu kembali melemparkan pandangan pada dedaunan yang bergoyang tertiup angin di sekitar taman. Gadis itu sudah paham bahwa menikah adalah ibadah sekaligus penggenap separuh agama. Namun, hatinya belum tergetar oleh satu pria pun sejak cinta diam-diamnya tak tergapai empat tahun yang lalu. Cinta pada dosen di kampus tempatnya menimba ilmu.

Angannya mengembara pada lintasan peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa pria perebut hatinya dulu. Meski telah lama berlalu, sakitnya masih terasa hingga kini.

“Abis Zuhur kita gak ada kelas ‘kan? Lihat praktek pengolahan susu sapi bentar, Yuk!” Tepukan Rum seketika membuyarkan lamunan tentang sebuah kenangan yang belum pergi dari jiwa.

Rum menarik tangan sahabatnya menuju ruang praktek pengolahan susu sapi yang dikerjakan santriwati Aliyah. Tempat itu berada di bangunan paling belakang. Untuk sampai ke sana keduanya harus melewati ruang-ruang kelas belajar siswi Aliyah sampai akhir, lalu belok kanan dan masuk ke koridor asrama santriwati Aliyah. Setelah sampai di ujungnya, berbelok kiri. Dari sana keduanya harus berjalan lagi sekitar 200 meter, barulah sampai ke lokasi yang dituju.

Pesantren yang terletak di Cimenyan, Kabupaten Bandung ini tak hanya mendidik para santri dengan ilmu agama, tetapi juga membekali mereka dengan berbagai keterampilan dalam bidang pertanian, peternakan dan industri pengolahan hasil kedua bidang tersebut. Mereka pun diberi pilihan untuk mendalami bidang yang disukai.

Hasna dan Rum tiba di ruang praktek yang mirip ruang industri kecil ini. Terdapat berbagai alat yang diperlukan untuk pengolahan susu sapi menjadi berbagai produk di sana. Mata Hasna langsung tertuju pada alat pasteurisasi susu yang terdiri atas batch pasteurizer, cup sealr, display cooler dan peralatan utilitas.

Beberapa santriwati yang sedang asyik mempraktekkan produksi pengolahan susu sapi segar menjadi yogurt berebut mencium tangan Ustazah Rum dan Ustazah Hasna saat melihat kehadiran mereka. Pendidikan syariat yang paripurna di pesantren ini telah mewujudkan generasi terpelajar juga santun terhadap guru dan orang yang lebih tua.

Hasna yang telah lima tahun tak mengurusi pesantren berdecak kagum atas kemajuan yang dicapai. Kepiawaian keluarga besar kyai mengelola juga dukungan dana dari investor pengusaha muslim menjadi faktor makin pesatnya perkembangan tempat yang didirikan dua puluh lima tahun lalu ini.

“Wah! Enak sepertinya ini!” seru Hasna saat melihat yogurt dalam cup plastik yang sudah berlabel ‘laziz’.

“Silakan, Ustazah.”

Salah seorang santriwati berkulit sawo matang menyodorkan dua cup yogurt yang tampilannya mengundang selera.

“Aduh, Jazakillah khoiron!”

Hasna mengambil satu cup untuk dirinya dan yang satunya untuk Rum.

“Insya Allah produk ini bisa menurunkan berat badan, Ustazah,“ terang santriwati yang menyodorkan cup tersebut.

Di tengah keasyikan melihat-lihat aktivitas santriwati, seseorang memanggilnya.

“Hapunten Ustadzah, Ajengan memanggil!”

Perasaan tak enak tiba-tiba datang. Curiga bahwa ini ada urusan dengan taaruf calon berikutnya. Namun dia tak bisa berkelit, panggilan Kyai adalah kartu mati.

*

Hasna dan Rum keluar dari ruang praktek para santriwati. Sepanjang menyusuri koridor asrama dan ruang kelas menuju aula, keduanya sesekali menengok ke kaca kelas, melihat sekilas aktivitas belajar di jadwal siang. Dari aula mereka masih harus berjalan selama dua menit untuk mencapai ruang guru yang bersebelahan dengan kantor mudir.

“Rum, mau gak gantiin aku taaruf?” Sebelum berpisah, gadis yang tingginya 163 centimeter itu masih sempat merajuk pada temannya.

“Gak lah, Aku nunggu Aa Hafiz, biar nanti jadi kakak iparmu.” Rum mengedip nakal.

“Maunya,” ledek Hasna.

“Maulah, udah sana! Calon nunggu, tuh!”

Rum tertawa kecil sambil mendorong Hasna yang bertingkah kekanak-kanakkan. Gadis itu geleng-geleng kepala dan kembali ke ruangan guru.

Dengan malas, Hasna melangkah menuju ruang khusus Kyai yang berada di belakang kantor mudiroh. Tempat ini ada di tengah-tengah kantor kepala sekolah ikhwan dan akhwat sehingga bisa diakses dengan mudah oleh para pemimpin itu. Meski enggan, diketuk juga pintu coklat tua yang terbuat dari jati berukir Jepara. Setelah dipersilakan masuk, digerakkan handle keemasan ke bawah, lalu di dorong hingga pintu terbuka.

Kyai berdiri dan menyongsong putrinya di ambang pintu. Setelah mengecup keningnya, pria berambut lebat itu menggandeng sang putri dan mendudukkan di kursi seberang meja kerjanya.

Setelah putrinya minum air yang disodorkan, Kyai menyampaikan maksud pemanggilan mendadak barusan. Hasna yang sudah menyangka sebelumnya, membuang napas kasar saat mendapat info akan datang kandidat calon suami kedua.

Kyai memeluk putrinya, mengecup puncak kepala disertai tiupan doa di sana. Tak lupa memberi sedikit motivasi untuk menyongsong babak baru kehidupan.

Nasehat Abi terhenti saat pintu terbuka. Seorang wanita beralis laksana semut berbaris menghampiri keduanya. “Loh, kok belum siap?”tanya Umi keheranan. “Tamunya bentar lagi datang, loh. Ayo, cepat ganti gamisnya!” titahnya.

*
Novel  CALON MANTU KYAI ready stok

Rp 99 000

Pemesanan
081261934594













CALON MANTU KYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang